Nama Rina Suadji sudah jarang muncul di ruang keluarganya. Bahkan di rumah masa kecilnya, foto dirinya hanya dua: satu ketika ia lulus SMP, satu lagi ketika ia berangkat melanjutkan kuliah di kota lain.
Setelah itu, menghilang.
Bukan karena konflik keluarga, bukan juga karena pelarian. Rina hanya… hidup dalam dunia yang tidak punya ruang untuk “pulang”.
Dan itu sebabnya Riana Lastia, adiknya, sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengannya.
Yang Riana tahu, kakaknya bekerja di majalah perjalanan. Yang Rina tahu, adiknya bekerja sebagai resepsionis hotel dan pemandu wisata.
Keduanya hidup dengan asumsi sederhana itu. Tidak ada yang tahu bahwa keduanya hanya menebak-nebak.
*
Malam itu, Rina berdiri di seberang gedung kaca milik Keluarga Soedarso, salah satu dinasti industri terbesar di negeri ini.
Di balik kaca itu, lampu-lampu redup menyala, seperti mata raksasa yang mengawasi dunia dari ketinggian.
Rina mengenakan hoodie hitam, rambutnya diikat, wajahnya dipenuhi masker medis. Ia berbaur dengan gerombolan pekerja malam yang menunggu bus.
Laptop kecil di dalam tasnya bergetar, pesan masuk dari redaktur:
“Rin, berhenti. Berita yang kau buat terlalu bahaya. Kau tahu sendiri keluarga Soedarso tidak bisa kita sentuh begitu saja.”
Rina tersenyum tipis. Ia sudah mendengar kata-kata itu ribuan kali sejak ia jadi jurnalis investigasi dari 3 tahun lalu.
Jika aku berhenti sekarang, aku sama saja jadi bagian dari kebusukan ini.
Ia mengetik balasan singkat.
“Aku hampir sampai ke inti berita itu.”
Dan ia benar. Dalam dua bulan terakhir, Rina menemukan hal yang tidak pernah ia duga:
• Perdagangan manusia berkedok perekrutan di perusahaan.
• Pergerakan uang gelap dari akun misterius menuju tiga negara.
• Nama-nama pejabat daerah yang menerima “kompensasi proyek”.
Namun satu hal yang paling penting yang telah ia temukan, ada dokumen tentang sebuah kelompok misterius.
Sebuah proyek rahasia yang terhubung ke empat individu.
Nama proyek itu muncul hanya sekali:
“Sagittarius Node.”
Rina tidak tahu itu apa, tapi instingnya berkata bahwa ia baru menginjak ujung pisau yang sangat tajam. Dan kini, ia bukan hanya menginvestigasi. Ia sedang
**
Rina mengunci laptopnya dan bergerak ke area parkir bawah tanah gedung kosong yang ia jadikan markas sementara.
Begitu kakinya turun satu anak tangga, ia merasakan sesuatu. Sunyi. Sangat sunyi.
Ia berhenti, memperlambat langkah.
Lampu neon kedap-kedip di atas kepalanya. Dari kejauhan, terdengar langkah kaki…
Diseret, sangat pelan, seperti seseorang yang sengaja tidak ingin menimbulkan suara.
Rina merogoh sakunya, bukan pistol, bukan pisau, melainkan pena taktis kecil berujung baja yang lancip.
“Keluar,” katanya pelan.
Tak ada jawaban. Hanya napas seseorang, tertahan.
Tiba-tiba...