Kelompok Sagitarius

Topan We
Chapter #9

Hendra Soedarso - All About Bisnis

Di lantai 58 Menara Soedarso, satu ruangan rapat luas memantulkan pantulan lampu putih ke meja-meja hitam mengkilap. Para direktur anak perusahaan sudah hadir sejak tiga puluh menit lalu, namun tak seorang pun menyentuh kopi yang disediakan. Mereka hanya duduk tegak, sesekali menatap pintu kayu tebal seolah menanti sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka… atau mengakhirinya.

Tak ada yang berbicara. Tak ada yang mencoba menenangkan kegugupan.

Rapat dengan Hendra Soedarso bukanlah rapat. Itu semisal ritual. Dan mereka semua paham risikonya.

Suara sepatu terdengar dari luar ruangan. Pelan. Teratur. Seperti detik jam yang bergerak di sebuah ruangan isolasi.

Pintu terbuka.

Seorang pria berusia empat puluh lima, tinggi, berpenampilan rapi, masuk, tidak terburu-buru, tidak lambat. Tatapannya tajam seperti orang yang bisa membaca isi kepala orang lain hanya dari cara mereka bernafas.

Hendra Soedarso...

Pewaris tahta Soedarso Group.

Bagi mereka, ia bukan sekadar CEO.

Ia adalah raja tanpa kerajaan resmi, namun kekuasaannya lebih luas dari politisi, lebih dalam dari kepolisian, dan lebih senyap dari intelijen mana pun.

Hendra berhenti di ujung meja. Ia tidak tersenyum.

“Baik,” katanya tanpa suara tinggi. “Kita mulai.”

Dan ruangan seketika seperti kehilangan oksigen.

***

Hendra membuka file digital di tablet tipisnya. Para direktur menelan ludah bersamaan.

Presentasi itu kosong.Tidak ada grafik. Tidak ada tabel. Layar hanya menampilkan satu kalimat:

“Ketidakefisienan berarti pengkhianatan.”

“Beberapa divisi menurun performanya,” ujar Hendra tenang. “Saya ingin dengar alasan. Tapi jangan beri saya kata kendala, permintaan pasar turun, atau faktor eksternal. Saya alergi terhadap itu.”

Ia menatap satu direktur di sebelah kanan. Lelaki itu pucat.

“Pak Bram,” kata Hendra lembut, terlalu lembut. “Penjualan Surya Energi menurun 11%. Sebulan lalu anda bilang sedang perbaikan jaringan distribusi. Lalu?”

Bram mencoba tersenyum, tapi bibirnya tak mau bergerak.

“P........perbaikan masih berjalan, Pak.”

Hendra memiringkan kepala sedikit, seperti mencermati hewan kecil yang sedang berbohong.

“Kalau saya cek data logistik, apa saya akan menemukan hal yang sama seperti yang anda katakan?”

Ruangan membeku. Semua tahu Hendra punya akses ke data yang bahkan direktur mereka sendiri tidak punya.

“Ehhhhhhh… mungkin ada perbedaan angka sedikit, Pak,” jawab Bram gugup.

Hendra menaikkan satu alis. “Sedikit?”

Bram bergetar.

“Pak Bram,” ucap Hendra sambil menutup tabletnya, “Anda tahu apa perbedaan antara orang jujur dan orang bodoh?”

Bram terdiam.

“Orang jujur akan mengakui kelemahannya,” kata Hendra. “Orang bodoh menyembunyikan kelemahan sambil mengharapkan saya tidak menemukannya.”

Lalu Hendra mencondongkan badan, suaranya turun, hangat, lirih, hampir seperti seorang ayah.

“Dan saya, Pak Bram… selalu menemukannya.”

Tidak ada yang berani bernafas.

“Silakan keluar dari ruangan,” perintah Hendra pelan.

Bram berdiri dengan tangan gemetar, kemudian berjalan menuju pintu.

Sebelum pintu sepenuhnya tertutup, Hendra menambahkan:

“Dan jangan kembali.”

Pintu menutup.

Tidak ada yang bersuara. Tidak ada yang berani memindahkan kursi. Bahkan AC ruangan pun terdengar lebih jelas, saking heningnya kala itu.

Setelah pemecatan senyap itu, Hendra kembali duduk.

“Selanjutnya,” katanya sambil mengusap layar. “Sektor pariwisata.”

Direktur divisi itu langsung panik. “Ssss....stabil, Pak. Kami ada kenaikan 2%.”

“Bagus,” jawab Hendra. “Tapi saya tahu ada masalah internal. Dua karyawan anda menjual data turis asing kepada pihak ketiga. Anda tahu?”

Sang direktur tersentak. “I....Iya, tapi saya sudah.....”

“Dari sejak kapan anda tahu?”

“Baru tiga hari, Pak…”

“Tidak perlu menjelaskan.”

Hendra mengetuk meja tiga kali, ritmis, teratur, hal yang ia lakukan ketika sedang menahan amarah.

“Setiap kali ada informasi yang tidak sampai kepada saya dalam waktu 24 jam…”

Ia melirik para direktur satu per satu.

“…itu berarti anda semua menyembunyikan sesuatu.”

“Saya mohon maaf, Pak,” ujar direktur itu lirih.

“Hm.” Hendra meletakkan tablet. “Sudah saya kirim orang ke kantor anda tadi pagi. Karyawan-karyawan itu akan diproses. Dan tolong pastikan anda tidak kehilangan kendali lagi. Kalau sampai terjadi… saya akan menanyakan kepada istri anda, bukan anda lagi.”

Direktur itu membatu.

Ancaman itu tidak eksplisit. Tapi cukup tajam.

Hendra tidak perlu berteriak.

Ia membangun ketakutan dari cara ia merangkai kata, dingin, presisi, tak memberi ruang untuk melawan. Ia paranoid. Tapi paranoid yang metodis.

Lihat selengkapnya