Di bawah gedung Soedarso Grup, terdapat satu lantai yang tidak masuk dalam blueprint resmi gedung. Tidak ada di peta, tidak ada di CCTV umum, bahkan sebagian staf keamanan tidak tahu lantai itu ada.
Lantai itu disebut Family 7.
Family 7 saat ini hanya bisa diakses dengan sidik jari empat orang:
Hendra Soedarso, Ardian Soedarso, Rahayu Soedarso dan Putra Soedarso.
Di ruangan gelap berlapis kedap suara itu, lampu-lampu LED redup memantul pada dinding logam matte. Sebuah meja bundar besar berada di tengah, tetapi kursinya tidak pernah penuh, hanya empat.
Empat pewaris gelap, empat anak dari keluarga yang fondasinya dibangun dari bisnis-bisnis abu-abu dan hitam yang tidak pernah muncul ke publik.
Pintu besi tebal berderak terbuka.
Hendra Soedarso:
Wajahnya tenang, pakaian rapi, mata tajam. Ia membawa tablet hitam yang terhubung pada server pribadi keluarga Soedarso, server yang bahkan pemerintah tak pernah temukan.
Beberapa detik kemudian, seseorang dengan pakaian lebih kasual masuk sambil menguap malas.
Ardian Soedarso:
Adik lelaki Hendra. Berpenampilan santai, rambut sedikit berantakan, tapi matanya… mata orang yang melihat dunia sebagai permainan strategi.
“Kita dipanggil jam segini?” gumam Ardian. “Aku baru saja menyelesaikan urusanku di Sumatera.”
Hendra tidak merespons. Ia hanya duduk dan menyalakan layar tengah.
Pintu terbuka lagi.
Masuklah seorang perempuan berusia awal empat puluh, wajah jauh lebih keibuan dibanding saudara-saudaranya, mengenakan blazer putih dan rok panjang.
Rahayu Soedarso:
Adik perempuan Hendra. Senyumnya lembut, seperti seorang guru TK saja. Tapi hanya orang bodoh yang tertipu oleh senyuman seperti itu.
Karena Rahayu adalah dalang operasi penempatan tenaga kerja ilegal ke Timur Tengah, yang sebagian besar berujung pada penjualan organ atau perdagangan seksual.
Dengan suara halus ia berkata, “Panggilan mendadak? Apa ada kabar buruk lagi?”
Hendra hanya melirik, memberi isyarat agar ia duduk.
Dan terakhir, masuk pria paling muda.
Putra Soedarso:
Tiga puluh lima tahun. Tubuh atletis. Wajah tegas. Ia adalah keponakan Hendra. Orang-orang menyebutnya “algojo dari keluarga Soedarso”. Karena Putra-lah yang menyelesaikan masalah dengan cara paling sunyi.
Tidak ada tetesan darah. Tidak ada saksi. Tidak ada jejak digital.
“Baiklah,” kata Putra sambil duduk. “Apa yang kita hadapi kali ini?”
Hendra mengetuk meja sekali.
“Pertemuan ini… untuk membahas proyek besar berikutnya.”
Semuanya diam.
Karena dalam keluarga Soedarso, “proyek besar” selalu berarti sesuatu yang bisa mengubah peta kriminalitas regional.
Dan kali ini, peta itu akan meluas.
***
Layar di tengah meja menyala. Gambar-gambar muncul:
Peta Jawa, Sumatra, Kalimantan-Malaysia, Thailand, dan Kamboja, Filipina bahkan Afghanistan.
Lalu grafik arus manusia yang diperdagangkan melalui jalur laut dan jalur udara. Rahayu menatap layar dengan senyum kecil. “Ah… itu data baru dari timku?”
“Ya.” Hendra memutar grafik. “Dalam 12 bulan terakhir, permintaan meningkat 37%. Negara tetangga sedang kekurangan pekerja murah. Dan jaringan Timur Tengah meminta tambahan 130 orang lagi dalam tiga bulan.”
Ardian meniupkan napas panjang. “Permintaan naik, tapi masalahnya jalur lama sudah tidak aman. Banyak razia. Organisasi lain juga ikut masuk.”
Hendra menatapnya dingin. “Karena itulah kita harus berekspansi. Bukan hanya merekrut. Kita akan membangun rantai pasokan baru.”
“Rantai pasokan?” Putra mengangkat alis. “Penjelasan.”
Hendra mengubah tampilan layar.
Foto-foto muncul:
• panti asuhan di luar Jawa,
• komunitas miskin di pesisir