Lukman Hadi berdiri di sebuah hutan asri, sebuah villa besar yang pernah dihuninya beberapa tahun lalu, ia menatap langit yang masih diselimuti awan kelabu. Lampu-lampu villa memantulkan cahaya kuning pada tanaman sekitar yang menambah kehangatan walau udara disana selalu terasa sangat dingin. Ia merapatkan jaket, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan yang sejak pagi menusuk-nusuk tulang rusuknya, perasaan bahwa sesuatu sedang bergerak di balik layar, dan ia sudah terlambat menyadarinya.
Teleponnya bergetar. Ratu mengirim pesan singkat:
“Kang, kamu sudah sampai? Jangan lupa makan, ya!"
Lukman menarik napas. Pesan sederhana itu, di waktu seperti ini, membuat dadanya terasa sesak. Wajah Ratu yang lembut muncul dalam benaknya, mata sayu, senyum tipis yang seperti tidak mampu menyembunyikan apa pun. Tapi ia tahu lebih baik daripada mempercayai penampilan luar siapa pun di lingkungannya.
Lukman menjawab singkat:
"Sudah sampai. Iya nanti aku makan, sayang. Sekarang masih ada urusan."
Ia menyimpan ponsel, lalu menuju pintu belakang. Akses ini mengarah ke ruang arsip lama, ruang yang hanya pernah digunakan oleh beberapa staf senior yang terlalu malas memindahkan dokumen ke server baru.
Pintu terkunci.
Tentu saja.
Lukman mengeluarkan kunci universal yang selalu ia bawa. Dalam hitungan detik, pintu terbuka dengan bunyi klik. Ia masuk tanpa menyalakan lampu utama, cukup lampu senter kecil yang digenggamnya. Rak-rak menjulang seperti lorong sempit perpustakaan tua. Aroma kertas lembap bercampur debu memenuhi udara.
Dia tahu apa yang ia cari: laporan pengadaan dan logistik enam bulan terakhir. Semua transaksi yang tampak legal, tapi tidak pernah benar-benar ditelusuri. Ia sudah curiga sejak dua minggu lalu ketika salah satu rekan kerjanya, seorang analis lapangan bernama Baskara, menghilang tanpa jejak setelah mengungkap pembunuhan seorang polisi oleh polisi. Atau lebih tepatnya polisi tembak polisi. Kasus yang meramaikan jagat raya.
Terkadang, pintu besar dibuka melalui celah kecil.
Lukman menyisir rak-rak tua, sampai menemukan kotak kayu besar bertuliskan “Amunisi Sagitarius - K4M”. Ia turunkan kotak itu, membukanya, dan mulai memeriksa satu per satu berkas.
Kertas pertama tampak biasa. Kertas kedua juga. Di kertas ketiga, ia berhenti.
Ada cap merah dengan tanda tangan salah satu pejabat tinggi di sebuah instansi. Pejabat yang tidak seharusnya ikut campur dalam pembelian alat komunikasi, apalagi dalam jumlah besar dan dari perusahaan swasta yang tidak pernah masuk daftar vendor resmi pemerintah, PT Kuasa Jaya Teknologi.
Tiba-tiba ruangan itu terasa lebih sempit. Lukman menegang.
PT Kuasa Jaya Teknologi adalah perusahaan bayangan milik grup besar yang baru dalam beberapa bulan terakhir naik daun secara misterius, tampaknya Soedarso Grup pemiliknya.
Ia menelan ludah. Ini bukan kebetulan. Ia memeriksa lembar berikutnya, dan berikutnya lagi. Semuanya memiliki pola yang sama: pembelian barang yang rumit, mahal, dan tidak relevan dengan kebutuhan instansi, namun selalu diloloskan oleh satu orang yang berwenang.
Nama pejabat itu muncul berkali-kali.
Dr. Waluyo K.Prasetyo - Deputi Bidang Pertahanan Cyber.
Lukman memicingkan mata.
Waluyo adalah sosok yang di permukaan tampak sempurna: cerdas, tegas, berwibawa, dan dihormati banyak orang. Tapi ia selalu punya aura yang membuat Lukman tidak nyaman. Terlalu tenang. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Manusia seperti itu biasanya menyembunyikan banyak hal.
Lukman memotret beberapa dokumen, lalu menyelipkannya kembali seperti semula. Ia tidak boleh meninggalkan jejak.
Ketika ia hendak menutup kotak, suara langkah pelan terdengar dari belakang.
Lukman langsung mematikan senter dan berdiri tegak, mendengarkan.
Langkah itu berhenti di pintu.
Hening.
Lalu terdengar suara seseorang yang ia kenali:
“Pak ... Pak Lukman? Anda di dalam?”
Suara itu milik Uki, staf IT yang sering bertugas memperbaiki komputer di ruangan-ruangan tua seperti ini. Orangnya ramah, gemuk, si cerdas yang rajin makan malam.
Tapi malam ini, nada suaranya berbeda.