Kelompok Sagitarius

Topan We
Chapter #12

Yogyakarta, Kartel Kolombia

Yogyakarta, 23:41 WIB.

Di kejauhan, denting gamelan dari sebuah pendapa kecil masih terdengar samar, meski malam mulai menua. Lampu-lampu jalan di sekitar gudang tua di daerah Krapyak berkedip redup, seakan tahu bahwa malam itu akan menjadi saksi dari sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi di kota pelajar.

Sebuah truk kontainer berhenti di depan gudang. Platnya palsu. Lampu belakangnya mati. Dan stiker perusahaannya baru ditempel satu jam lalu. Di balik pintu besi besar gudang, beberapa pria kulit gelap, bertato, berbicara dengan bahasa Spanyol kasar, sesekali mencampurnya dengan bahasa Indonesia patah-patah. Mereka adalah pecahan kecil dari kartel Kolombia yang selama empat tahun terakhir bekerja sama dengan keluarga Soedarso.

Malam ini harus menjadi malam pengiriman besar pertama mereka dalam kuartal baru.

Atau setidaknya … begitu rencananya.

Namun, ada seseorang yang tidak tertulis dalam skenario malam ini, seorang pria yang terlihat seperti bodyguard freelance biasa. Seseorang yang tidak akan dipertimbangkan oleh siapapun sebagai ancaman besar.

Leo berdiri di atap bangunan seberang gudang. Jas hujan hitam pekat menutupi tubuhnya, membuatnya menyatu dengan kegelapan. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin seperti logam. Hanya matanya yang bergerak, tenang dan terlatih, menghitung ritme pergerakan para penjaga.

Ia menjentikkan transmisi kecil di telinganya, bukan radio umum; ini alat buatan tangan seseorang yang hanya sebesar koin.

Namun malam ini ia bekerja sendirian. Tidak ada perintah khusus dari siapapun. Tidak ada anggota lain. Ia hanya kebetulan berada di Yogyakarta karena tugas lain, dan mencium bau kartel begitu mendekat.

Leo tidak percaya kebetulan. Bagi Leo, segala sesuatu adalah sebuah jalan. Dan tanda ini terlalu bau busuk untuk diabaikan.

Tiga penjaga berjaga di halaman depan. Satu orang Kolombia, dua orang lokal. Senjata mereka lengkap, namun malas dalam disiplin. Gudang itu tampak tenang, tapi Leo membaca detail kecil yang tidak terlihat oleh mata biasa: bekas ban yang baru, antena komunikasi gelap yang menempel di sisi bangunan, dan dua shadow-spot kamera yang dipasang di sudut tinggi, bukan milik pemerintah, melainkan kamera sirkuit tertutup ala kartel.

Ia menarik napas panjang, lalu bergerak. Senyap. Dua langkah, lompat.

Ia meluncur dari atap ke balkon tingkat dua gudang dengan keheningan seekor kucing. Tangannya menempel pada pipa tua, lalu ia turun secara spiral tanpa suara.

Satu detik kemudian, ia sudah berada tepat di atas penjaga belakang.

Pria Kolombia itu merokok, memandang layar ponselnya. Tidak sadar.

Tangan Leo bergerak cepat, meraih batang rokok pria itu dari belakang dan menekannya dalam tekanan ringan pada leher pria tersebut, cukup untuk membuatnya reflek menengadah.

“Ssst,” bisik Leo, nyaris tidak terdengar.

Pisau lipat tipis seperti silet kecil muncul dari sela jarinya. Tidak lebih dari tiga sentimeter panjangnya.

Gerakannya hampir tidak terlihat. Satu sayatan kecil, cepat, bersih, tepat pada arteri karotis. Pria itu tidak sempat mengeluarkan suara. Darahnya mengucur, bukan dalam semburan brutal, tetapi seperti garis halus cat merah.

Leo menangkap tubuh itu sebelum jatuh. Ia membaringkannya perlahan ke tanah, menutup matanya seolah menyampaikan belas kasih.

“Maaf,” bisik Leo pelan.

Senyap kembali menjadi milik malam itu. Leo bergerak menuju pintu samping, mendekati dua penjaga lain. Lima detik kemudian… keduanya ikut sunyi.

Tanpa alarm. Tanpa suara tembakan.

***

Di dalam gudang, aktivitas kartel mencapai puncaknya.

Ada 2 orang Kolombia, tiga orang Indonesia, dan satu petinggi kecil kartel bernama Luis Ortega, seorang pria kurus dengan rambut bergelombang dan mata cekung. Ia mengenakan sarung tangan lateks, seakan barang di hadapannya adalah emas.

Di meja panjang sekitar lima meter, dibungkus rapi dalam plastik tebal, terdapat paket-paket putih berbentuk balok.

Total: 27 kilogram kokain murni.

Nilai di Indonesia: tidak terhitung.

“Rahayu Soedarso wants this batch secure before dawn,” ujar Luis sambil menepuk paket.

Salah satu orang Indonesia menelan ludah.

“Kita sudah terlambat dua hari. Kalau ada masalah....”

Luis mendekat, mengacungkan pisau ke bawah dagu lelaki itu.

“Kau pikir aku peduli?”

Ketika Luis memalingkan wajahnya, pria Indonesia itu mengusap lehernya yang kini basah oleh keringat dingin.

Namun sebelum salah satu dari mereka sempat melanjutkan percakapan,

listrik tiba-tiba padam.

Gelap total.

Lampu darurat langsung menyala, merah redup.

“¿Qué pasó?”

“Apa yang terjadi?”

Lihat selengkapnya