Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #1

Prolog: Tugas, Ritual, dan Harapan

Juni 2021 (dua puluh tahun kemudian)


Astaghfirullah. Yang benar saja. Bisa-bisanya aku terpejam lagi?


Sinyal-sinyal kecil seperti ini sungguh menegangkan. Salahkan pendidikan dan profesiku, tentu aku paham betul apa yang harus kuwaspadai jika merasa mengantuk pada pagi hari. Fisikku tidak dalam kondisi terbaiknya. Meskipun tidak—atau belum, tapi kumohon jangan, ya, Allah—sakit, aku tahu pasti, aku tidak cukup bugar saat ini.


Bangun sebelum Subuh masih tidak menjadi masalah bagiku. Sepertinya kecil kemungkinan kebiasaan selama tiga puluh lima tahun kehidupanku ini masih bisa berubah lagi. Dalam hal bangun pagi, tubuhku memang sudah seperti mesin yang otomatis menyala tiap jam empat. Idealnya, setelah menyala, mesin ini didinginkan sejenak di pertengahan hari, sebelum akhirnya dimatikan selama paling tidak tujuh jam tak lama setelah matahari terbenam. Jika di antara waktu-waktu tersebut mesin ini tak redup sekali pun, sempurnalah kualitasnya, tak kalah oleh mesin-mesin keluaran terbaru!


Sekarang, aku tidak terlalu percaya diri dalam hal itu. Jangankan bugar hingga lanjut usia, sekadar tak jatuh sakit sekarang ini sudah menjadi anugerah yang luar biasa, jika teringat nyawaku yang terancam nyaris setiap detiknya. Gempuran virus ada di mana-mana dan aku bersama rekan-rekan sejawat harus terus bersiaga di garis terdepan dalam perang panjang ini. Pasien yang terus bertambah memaksa kami menambah jadwal bertugas. Kelelahan fisik pun sangat lumrah terjadi pada kami.


"Bunda? Udah bangun? Baru mau Anin bangunin."


Sebuah suara menghentikan kesibukan pikiranku yang--seperti biasa, kebiasaanku sejak kecil--hampir terlalu jauh melayang ke mana-mana. Aku bersyukur dalam hati.


"Anin tahu Bunda ketiduran? Kenapa nggak langsung bangunin?" Aku bertanya balik sembari memandang sekilas anak sulungku itu, lalu kembali menatap cermin dan merapikan kerudungku.


"Tadi sempet bingung sih ... bangunin apa enggak. Kata Ayah, jangan. Bunda pasti capek. Bagus kalau bisa tidur lagi dulu sebentar sebelum berangkat ... jadi lebih seger," kata gadis sulungku itu.


"Padahal Bunda udah siap berangkat lo, tadi. Bisa-bisanya ketiduran udah pake kerudung gini ... kusut deh," keluhku.


"Ya mendingan tidur tadi itu dong, daripada ketiduran di jalan ... serem banget."


"Iya, ya. Naudzubillahimindzalik," Aku bergidik otomatis mendengar kata-kata anakku itu, lalu memandanginya lebih lama. Usia sebelas tahun jelas masih jauh dari kriteria dewasa, tapi kenapa kadang-kadang ia seakan lebih dewasa dariku?


"Lagian, nggak terlalu keliatan kok, Bunda ... terus bukannya nanti Bunda pasti pake APD seharian? Ngaruhnya apa dandan rapi-rapi?"

Lihat selengkapnya