Juni 2001
Aku masih sering tak paham pada berbagai aturan di dunia ini. Tidakkah kalian merasa, ada begitu banyak norma ajaib yang bisa kita temukan di sekitar kita? Mengapa kita harus santun kepada orang yang lebih tua, misalnya, sementara mereka sendiri tidak menunjukkan sikap yang sama? Mengapa pelanggaran lalu lintas bisa diselesaikan dengan cara membayar polisi yang menangkapnya, padahal bukan si polisi yang dirugikan oleh pelanggaran itu? Atau mengapa harus ada yang namanya sekolah unggulan dan calon siswa harus lolos seleksi nilai Ebtanas untuk memasukinya di awal masa sekolah, tetapi kemudian siapa pun yang tidak lolos seleksi itu masih bisa masuk di caturwulan¹ berikutnya?
Masalah terakhir itu yang sedang membuatku meradang saat ini. Beberapa meter dari bangku tempat dudukku sekarang, seorang teman sekelasku yang baru saja pindah ke sekolah kami pada caturwulan terakhir di kelas 1 SMA terlihat kebingungan mencorat-coret papan tulis. Kalau tak mengenalnya dan hanya sekilas melihatnya, kurasa kita tak bisa tahu pasti, apakah ia sedang bercanda, menggoda guru, atau memang sungguh-sungguh berusaha memecahkan soal yang diberikan guru fisika kami di sana. Pasalnya, ia hampir belum mengerjakan apa-apa. Jari-jarinya masih sibuk menulis di bagian "Diketahui", bolak-balik menulis dan menghapus sederet angka untuk mengonversi satuan dari sentimeter ke meter.
"Bffft .. bhahhaa ..." Kudengar beberapa temanku tak sanggup menahan tawa.
"Apa yang lucu?" Kutanyai Desi, teman sebangkuku yang juga sibuk mengikik.
"Tengoklah itu ... dia cari lima puluh bagi dua!"
"Pikirnya pasti naik dua tangga dari senti ke meter berarti bagi dua," sambar Ucok, temanku yang duduk di depanku, membalikkan badannya.
"Makanya kutanya, apanya yang lucu?" tuntutku lagi.
"Bah. Empati ko² tinggi, rupanya?" Kawan sebangku Ucok ikut membalikkan badan.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak lucu. Itu menyedihkan. Atau menyeramkan."
Tawa yang sudah hilang kembali terbit beramai-ramai.
"Sudah kuduga!"
"Menurutku, ko yang lebih seram, Re. Masih untunglah dia, bukan ko yang jadi gurunya!"
"Kurasa aku tak mungkin jadi guru. Bisa-bisa aku jadi sinting nanti."
"Pasti. Re, kurasa harus serius ko pikirkan cita-citamu sekarang."
"Cari pekerjaan yang tak perlu sabar-sabar."
"Betul, itu!"
Tawa kembali meledak. Aku tak ikut tertawa awalnya karena akulah yang ditertawakan, tapi lama-lama kurasa aku ketularan. Apa ada yang namanya virus tertawa? Kami sibuk tertawa hingga lupa bahwa kami masih di kelas dan pelajaran masih berlangsung. Setidaknya begitulah sampai sebuah penghapus papan tulis kapur melayang ke arah kami.