Sesenang-senangnya aku berolahraga (di klub, di kompleks rumah bersama Mama, atau bahkan saat pelajaran olahraga di sekolah), menjalani hukuman lari keliling lapangan siang bolong selama lebih dari setengah jam tetap tidak menyenangkan bagiku. Kenapa, ya? Mungkin karena seperti yang kukatakan, aku merasa bahwa itu tidak adil. Aku yakin sepenuh hati bahwa aku tidak melakukan apa pun yang pantas diganjar hukuman. Jadi, aku sangat sangat sangat tidak ikhlas menjalaninya. Kata papaku, apa-apa yang dilakukan tanpa keikhlasan akan terasa puluhan kali lipat lebih berat. Pantas saja aku seolah berlari dengan kedua kakiku digandoli batu.
Kemungkinan alasan lainnya adalah waktu kejadian. Saat keluar dari kelas, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Karena aku baru diizinkan berhenti berlari saat bel isitrahat berbunyi, itu berati aku berlari selama tak kurang dari empat puluh menit. Sayangnya aku tidak bisa curang karena Pak Syamsul berkali-kali keluar dari kelas, agak lama bertengger di balkon dan mengawasiku (entah apa kata pemerintah kalau tahu salah seorang guru Fisika yang digaji negara lebih senang memberikan latihan Pendidikan Jasmani ketimbang bidang studinya sendiri). Jadi, bayangkanlah. Empat puluh menit berlari di bawah terik matahari yang begitu menyengat di negara tropis. Sangat wajar seandainya aku terkapar karena dehidrasi.
Pak Syamsul juga harus berterima kasih pada klub bulu tangkisku. Kalau bukan karena aku sudah sangat terbiasa berlari berkilo-kilometer sebagai bagian dari latihan, kurasa aku sudah jatuh pingsan. Bukankah menyiksa murid hingga tak sadarkan diri sudah tergolong ke dalam kategori tindakan kriminal?
Meskipun para pelatihku di klub sering memberikan menu latihan fisik yang lebih berat dan lama, semua yang kulakukan dapat dipastikan keamanannya. Pertama, berlari di siang bolong jelas takkan pernah termasuk dalam menu kami. Kedua, kebutuhan minum air saat berlari sangat diperhatikan. Dua hal inilah yang begitu jauh membedakan acara lariku hari ini dengan latihan rutinku di klub.
Tahu harus segera mengganti cairan tubuh yang hilang, aku melesat ke kelas begitu bel istirahat berbunyi. Hanya ada satu tujuanku saat itu: botol minum besar yang kubawa dari rumah. Tak kuacuhkan lagi siapa pun yang lalu lalang di sekitarku sebelum aku berhasil mencapai botol besar itu, termasuk yang akhir-akhir ini begitu sering kuperhatikan: kakak kelasku yang memegang jabatan ketua di ekskul KIR¹ sekolah kami.
"Kecengan ketiga?" tanya Papa, dalam usahanya mengulang sepotong kata yang menjadi bagian dari ceritaku malam ini..
"Kelima," koreksiku cepat. "Banyak kan anak KIR yang pernah Rea kecengin. Waktu MOS² dulu, pas acara promosi eksul juga kan itu ada yang keren ... dia anak kelas tiga, ketua tahun lalu.. Terus sebelum akhir tahun diganti sama anak kelas dua, ketua yang sekarang. Tapi sebelum ngecengin yang ini, Rea suka juga sama sesama anggota baru, kelas satu juga, tapi nggak sekelas, sih, kami ..."
"Slow down, Aurea," potong Papa lagi sambil mendorong gelasku di meja.
Aku meringis dan meraih gelas yang ada di hadapanku. Betul kata Papa, kadang-kadang aku lupa memelankan omonganku, apalagi kalau sedang curhat. Yah, terkadang aku heran mengapa Papa tidak membiarkan saja kebiasaanku itu. Toh ia pasti bisa menangkap semua yang kuceritakan, dengan pengalamannya selama lima belas tahun mendengarku berceloteh.
Saling bercerita tentang kegiatan dan kejadian sehari-hari sudah menjadi kebiasaan kami sekeluarga: aku, Papa, dan Mama. Aku bercerita tentang apa pun yang kualami di sekolah, klub, jalan raya, bahkan sudako³. Tidak semuanya pengalamanku sendiri. Tahukah kau, di sudako kita bisa belajar banyak dari obrolan inang-inang atau siapa pun yang semangat mengobrol dengan orang yang baru dikenalnya di dalam angkutan umum itu?
Kebiasaanku bercerita panjang dan berbicara cepat sepertinya kuwarisi dari Mama. Mama juga terbiasa menceritakan kegiatannya di kantor, di tempat proyek, di tempat makan, dan sebagainya. Kalau ada pekerjaan yang mengharuskannya ke luar kota beberapa hari, pulang-pulang nanti ia bisa bercerita selama tiga jam, nonstop. Ini pun sudah dikurangi sedikit bocoran cerita pendahuluan yang dikeluarkannya lewat telepon interlokal setiap hari.
Meskipun jauh lebih kalem daripada kami, Papa juga sering bercerita tentang kegiatannya. Aku paling suka mendengarkan beragam kisah lucu dari ruang praktiknya sebagai dokter spesialis anak di rumah sakit. Papa juga punya ruang praktik di sini, di samping rumah kami. Nah, sering kali kurasa aku paham lebih banyak tentang cerita Papa karena ini. Aku sering membantunya di klinik, sementara Mama sibuk melanglang buana untuk mengurus proyek-proyek bisnis konstruksinya.
"Dehidrasi karena kebanyakan atau kecepetan ngomong mungkin terjadi, nggak, Dok?" sambar Mama yang baru kembali dari dapur, membawa teko besar yang dapat kupastikan berisi air jahe hangat.
"Mungkin aja," sahut Papa, tersenyum lebar.
"Mama juga harus ati-ati, dong. Rea kan nurun Mama kecepatan ngomongnya," gerutuku.
Mama mengeluarkan suara terkesiap sambil membelalakkan mata. Pura-pura terkesiap, tepatnya. "Gimana dong, Dok? Tapi saya sudah begini sejak kecil," tanyanya pura-pura panik pada Papa.
"Aman, berarti," sahut Papa, tertawa.