Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #4

Minggu Pagi di Klub

Sejak sekitar enam tahun yang lalu, aku begitu mencintai hari Minggu. Meskipun harus meninggalkan rumah lebih pagi daripada biasanya, aku selalu gembira dan penuh semangat. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan hari ini. Antusiasme itu hilang entah ke mana.


Biasanya, pagi-pagi aku diantar Papa naik mobil jeep kesayanganya untuk pergi ke GORĀ¹ tempat klub bulu tangkisku berlatih. Kami meninggalkan rumah sekitar jam enam lewat sedikit. Soalnya, latihan dimulai tepat pukul tujuh.


Jam berangkatku hari ini sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, alih-alih naik jip Papa, aku harus naik sudako menuju GOR dan aku lupa pada rumus umum saat naik angkutan umum: berangkat lebih awal daripada saat naik mobil pribadi. Meskipun terkadang berlari seperti kuda liar, sudako jauh lebih sering berhenti, baik untuk menurunkan penumpang maupun untuk menunggu penumpang baru naik. Gara-gara ini, aku menghabiskan waktu cukup lama di perjalanan sebelum akhirnya tiba di GOR.


Aku terlambat. Teman-temanku sudah selesai melakukan pemanasan waktu aku sampai. Kulempar tasku begitu saja ke arah bangku terdekat di dalam GOR, siap bergegas mengejar teman-teman yang sudah mulai berlari. Setidaknya, itu niatku sebelum Kak Roni, salah satu pelatih, menghentikanku. Hampir saja aku terlonjak kaget mendengar bunyi peluit melengking.


"STRETCHING DULU, LAA!" Bang Roni meneriakiku setelah peluit terlepas dari bibirnya.


Tentu aku paham tentang pentingnya pemanasan sebelum berlari. Namun, aku lebih paham lagi bagaimana tidak enaknya bersenam dan berlari sendirian. Lagipula, aku merasa cukup aman karena sudah curi-curi melemaskan otot saat di dalam sudako tadi. Oh, dan aku juga sudah mulai berlari, sebetulnya. Sudako yang kunaiki kan tidak berhenti tepat di depan GOR. Tahu sudah terlambat, kulakukan sprint hingga mencapai GOR. Kurasa jantung dan paru-paruku sudah siap lanjut berlari lagi.


"Bang, tadi aku udah ..." Aku berusaha menawar perintah Bang Roni.


"Pemanasan yang benar," potong Bang Roni cepat sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. "Atau awak buatkan pemanasan khusus?"


Aku tidak pernah terlambat sebelumnya, tetapi aku tahu apa yang dimaksud Bang Roni dengan "pemanasan khusus". Beberapa kali kulihat teman-temanku yang telat datang latihan terpaksa melakukannya: berguling-guling di atas jalan raya. Mungkin maksudnya memanaskan tubuh dengan bantuan aspal? Yang kuyakin, tujuan pertamanya jelas berbeda: membungkam protes.


Jadi, aku tidak punya pilihan selain menuruti Bang Roni. Lebih baik kupatuhi instruksinya daripada mengotori pakaian, kulit, dan rambutku dengan aneka rupa kotoran misterius di atas aspal. Kutampilkan sebagus mungkin gerakan-gerakan pemanasan di hadapannya, meskipun kurasa aku kurang berhasil menyembunyikan perasaan kesalku.


"Baru ini kutengok ko terlambat," komentarnya saat aku menekuk lutut dan menyentuhkan tumit ke paha bagian belakangku. "Kucing ko melahirkan atau apa?"


Lihat selengkapnya