Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #5

Kejutan Paling Tidak Lucu Sedunia

Berbeda dengan latihan sore pada hari Selasa dan Jumat, latihanku di klub pada pagi hari Minggu lebih berfokus pada latihan kecepatan dan daya tahan tubuh. Setelah menyelesaikan joging selama tiga perempat jam dan beristirahat beberapa menit, aku dan teman-temanku melakukan latihan footwork. Ini jenis latihan yang paling sering dibangga-banggakan tidak hanya oleh para pelatihku di klub, tetapi juga oleh papa dan mamaku.


Apa aku sudah bilang bahwa orang tuaku juga pecinta badminton dan merekalah yang membuatku "terjerumus" ke cabang olah raga ini? Bahkan sebelum aku mulai bersekolah, mereka sudah mengenalkanku pada footwork. Tentu saja istilah itu tak diberitahukan padaku. Aku hanya diajak bolak-balik melangkah cepat untuk memindah-mindahkan kok yang diletakkan di lantai, aspal, rumput, dan berbagai jenis permukaan lainnya. Yang kutahu saat itu, aku asyik bermain. Belakangan setelah aku makin besar dan bergabung di klub, barulah kutahu, mereka sebenarnya telah "curi start" dalam melatih gerakan kakiku untuk bermain bulu tangkis.


Latihan footwork dibutuhkan agar langkah kaki seorang pemain bulu tangkis menjadi lebih efektif saat bermain di lapangan. Pernahkah kau perhatikan bagaimana para atlet bulu tangkis nasional bertanding? Takkan kau temukan kehebohan mereka berlari-lari ke sana ke mari sampai kehabisan napas seperti halnya anak-anak yang baru belajar badminton di jalan depan rumah mereka. Selain joging, footwork ini dalang penting di balik jagonya mereka menguasai lapangan.


Setelah mengetahui teorinya, aku sempat menanyai Mama dan Papa. Apa maksud mereka membuatku "berlatih footwork" sejak usia dini? Apakah mereka berambisi menjadikanku penerus Susi Susanti atau juara dunia lainnya? Masih kuingat mereka tergelak begitu mendengar pertanyaanku ini.


"Jadi apa dan mau ngapain nanti, itu urusan Rea sendiri, lah! Untuk apa Mama ngatur-ngatur?" kata Mama cuek usai puas tertawa.


Sementara itu, Papaku tampak lebih hati-hati berkomentar, "Hmm ... apa Rea ngerasa dari dulu keras dilatih dan tersiksa? Kenapa nanya gitu?"


"Emang udah enggak suka badminton? Kalau mau berhenti dan keluar dari klub juga silakan, loh," sambar Mama lagi.


"Enggak, sih ... eh, suka maksudnya, masih mau di klub," jawabku, bingung sendiri.


Sebenarnya sikap Papa dan Mama yang seperti itu tidak hanya berlaku untuk bulu tangkis. Untuk urusan sekolah, beberapa kali kami juga mengobrol seperti itu. Seingatku, obrolan itu tercetus setelah kudengar cerita teman-temanku yang mengeluhkan paksaan orang tuanya untuk belajar di rumah atau omelan tentang nilai dan ranking yang turun. Rasa-rasanya aku tak pernah mengalami itu semua. Baik Mama maupun Papa tampaknya tak begitu peduli pada nilai-nilai pelajaran sekolahku. Mereka memang selalu ada dan bisa menjawab semua pertanyaanku jika aku membutuhkan bantuan, tetapi tak pernah ribut memintaku belajar. Aku belajar--secukupnya saja, tak perlu banyak-banyak juga kurasa--karena memang aku mau, bukan karena disuruh.


Bulu tangkis pun seperti itu. Tentu saja jawaban dari pertanyaan Papa di atas adalah tidak. Aku memang menggeluti olahraga ini akibat pengaruh Mama dan Papa yang hampir setiap hari mengajakku bermain badminton, tetapi tak sekali pun aku merasa dipaksa berlatih keras dan tersiksa karenanya. Semua kegiatan di klub ini selalu menyenangkan bagiku. Mungkin sama halnya dengan semasa aku kecil dulu, latihan footwork atau berbagai teknik lain yang harus kulakukan di sini masih terasa seperti bermain saja. Atau setidaknya, biasanya begitu.


"Cepat, cepat, cepat lagi! Aaah, lambat kali! Lagi! Cepat, cepat, cepat! Aaakh ... REA, KELUAR KO!"


Kuhentikan gerakan langkah kakiku sambil menoleh ke arah Bang Roni yang sejak tadi menyerukan kalimat-kalimat perintah dari pinggir lapangan. Karena napas yang masih memburu, tak sanggup langsung kusahuti panggilannya.


Lihat selengkapnya