Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #7

Cerita Aldo

Aldo sudah sering mendengar cerita papinya tentang kebiasaannya begadang sejak zaman mahasiswa. Kata Papi, itu terpaksa, karena adanya tuntutan mengerjakan tugas kuliah yang tidak begitu sederhana. Namun, rupanya kebiasaan itu sempat diteruskan bertahun-tahun kemudian, meskipun papinya sudah menjadi sarjana. Papi bilang, itu tuntutan pekerjaan. Mungkin karena itulah, sementara beberapa temannya semasa kecil mengagumi papinya dan terinspirasi menjadikan arsitek sebagai cita-cita di masa depan, ia sendiri tidak pernah punya keinginan yang sama. Baginya, profesi yang mengharuskannya tidak tidur semalaman itu mengerikan.


Samar-samar diingatnya, Papi mulai menghilangkan kebiasaan yang tidak menyehatkan itu saat maminya mulai sakit serius. Awalnya, Papi menjelaskan bahwa itu demi mendampingi dan menyemangati Mami untuk menerapkan gaya hidup sehat, bertekad melawan kanker yang dideritanya. Namun, meskipun akhirnya usia Mami tetap tak dapat diperpanjang lagi, kebiasaan lama Papi tak kembali.


"Kata Tante Dini, justru Papi harus jauh lebih serius jaga kesehatan, sekarang. Demi kalian ... ya, enggak?" ujar Papi suatu hari dulu di meja makan, bersama ia dan kakaknya, tak lama setelah Mami pergi.


"Tante Dini yang bilang gitu?" Aldo ingat, kakaknya yang lebih dulu bersuara, mengajukan pertanyaan yang baru mau dilontarkannya.


"Dan Om Hadi. Ya mereka berdualah, kan sepaket," sambung Papi lagi, tertawa.


Seiring dengan pertambahan usianya, Aldo makin yakin, persahabatan mami-papinya dengan Tante Dini dan Om Hadi, mama-papa Aurea, sangat istimewa. Pertemanan mereka rasanya bahkan lebih erat daripada hubungan persaudaraan dengan keluarga Pakde Abi, kakak kandung Papi satu-satunya. Setidaknya, itulah yang ia tahu sampai kemarin malam.


Segala hal yang didengar, dilihat, dialami, bahkan dilakukannya sejak semalam hingga sore ini sebenarnya sangat sulit diterima oleh akalnya. Kendati demikian, rasanya ia tak mungkin menyatakan keberatan. Kepada siapa, kapan, dan bagaimana? Lagipula, apa haknya?


Dalam situasi ini, menurutnya, hanya satu orang yang boleh melayangkan protes. Seorang anak perempuan sebayanya, bersama kakak dan papinya, terlihat berjalan mendekat ke arah kerumunan tempatnya berdiri. Dialah, di antara semua orang yang ada di sekelilingnya saat ini, yang paling berhak marah: atas musibah besar yang menimpanya, atas tabir gelap yang entah kapan terangkat untuknya.


Seolah ada yang mengomandoi, Aldo merasa orang-orang di sekitarnya memberi jalan pada sosok yang datang terakhir itu: Aurea. Langkah kaki gadis itu berhenti tepat di antara dua lubang berkedalaman dua meter.


Di tiap lubang itu, beberapa laki-laki dewasa sibuk memperbaiki posisi jenazah yang akan dikuburkan. Aldo ingat pemandangan ini. Rasanya seperti baru kemarin ia melihat papi dan kakaknya turut masuk ke dalam liang kubur, menutup jenazah Mami dengan papan kayu sebelum diuruk dengan tanah kembali. Meskipun sisa usia Mami telah lama diperkirakan dan datangnya momen itu benar-benar tak mengejutkan, Aldo ingat betul pada perasaannya yang remuk redam kala itu: menyaksikan tubuh ibunya yang harus ditimbun tanah, takkan pernah dapat terlihat lagi.


Lihat selengkapnya