Juli 2001
Bukan baru sekali atau dua kali Angga mendengar orang meminta tolong padanya dan mengucapkan, "Tolong ya, Ngga. Aku mengandalkanmu!"
Berkebalikan dengan kekhawatiran orang yang mengatakannya, rasanya ia sama sekali tidak pernah keberatan mendengar dan melaksanakan isi pesan tersebut. Dimintai tolong tidak hanya membuatnya senang, tetapi juga bersemangat. Jika sampai pada taraf diandalkan, tangki kebahagiaannya seakan luber.
Kurang lebih seperti itulah perasaannya yang muncul ketika kemarin lusa Bunda meneruskan panggilan telepon dari Pakde Dika. Alih-alih menutup telepon setelah mengobrol panjang lebar dengan Bunda, pakdenya itu malah minta berbicara dengannya. Sebetulnya berita yang disampaikan padanya singkat saja. Pakde Dika harus pergi ke Medan, kota yang berjarak hampir dua ribu kilometer dengan Jakarta, kota tempat mereka tinggal saat ini. Beliau harus menyelesaikan masalah bisnis yang mendesak serta berbagai urusan terkait anak yang kini berada di bawah perwaliannya: Aurea.
Beberapa minggu terakhir ini, nama Aurea mendadak populer di tengah-tengah keluarga besarnya. Sekarang, dalam hampir setiap makan malam bersama di rumahnya, Ayah dan Bunda kerap mendiskusikan masalah gadis lima belas tahun yang baru menjadi anak yatim piatu itu. Tidak hanya dengan Ayah, Bunda juga sering membahasnya dengan para bude, pakde, om, tante, dan bahkan eyang-eyangnya. Kesibukan pun tidak berhenti di situ. Di generasinya, yang berarti mencakup ia sendiri dan sepupu-sepupunya, kini Aurea juga sering menjadi topik utama pembicaraan.
Maka, Angga paham betul, yang dimaksud Pakde Dika dengan "mengandalkanmu" kali ini berkaitan dengan Aurea. Dari dialog-dialog orang tuanya, ia tahu bahwa pakdenya itu sudah berkali-kali menunda urusannya di luar Jakarta karena kondisi Aurea. Kebimbangan Pakde Dika tentu bertambah ketika Mas Agung, anak sulungnya, juga harus ke Bandung untuk menyelesaikan beberapa urusan di kampusnya. Kalau tidak benar-benar mendesak, Pakde Dika tak mungkin ke luar kota meninggalkan anak bungsunya, Aldo, berdua saja di rumah dengan Aurea.
Namun, sesenang-senangnya Angga dimintai pertolongan, tetap saja ia tidak pernah mengharapkan munculnya masalah atau musibah baru. Insiden kali ini, misalnya. Ia yakin, kehilangan seseorang yang kondisi mentalnya sedang tidak stabil adalah hal yang paling tidak diharapkan oleh siapa pun.
Ketika Aldo menelepon, Angga sedang khusyuk menekuni gitarnya: mencari-cari chord lagu Sebuah Kisah Klasik-nya Sheila On 7. Sempat lupa bahwa saat itu sedang tidak ada siapa-siapa lagi di rumahnya, Angga sempat membiarkan telepon di ruang tengah itu berdering cukup lama. Begitu teringat bahwa tak ada Ayah ataupun Bunda yang akan mengangkatnya, barulah ia tergopoh-gopoh menghampiri pesawat telepon itu. Siapa sangka, keterlambatannya itu telah menambah kepanikan si penelepon.
"Oke, coba lo tenang dulu," perintah Angga, menyembunyikan kekagetan dan kepanikannya sendiri setelah Aldo menceritakan Aurea yang tiba-tiba raib dari rumahnya tanpa pemberitahuan. "Gue ke sana, jemput ... eh ... Gue aja yang nyari, pake motor. Lo tetap di rumah. Pakde udah tau?"
Kepanikan Aldo di ujung telepon membuat argumen Angga makin kuat. "Ya justru lo harus di rumah. Kalo dia tiba-tiba pulang lagi sendiri, gimana? Lagian kalo gue yang nemu, kita enggak bisa boncengan berti ..." Angga tertegun menyadari suara bising yang tak asing di telinganya.
Makin lama, suara itu terdengar makin berisik. Hujan pasti makin lebat. Ditambah pula suara menggelegar yang memekakkan telinga.
“Aish! Mati lampu, lagi!” seru Aldo dari seberang telepon.