Apakah kau pernah berpikir tentang kematian? Eh, maaf. Ada pertanyaan lain yang seharusnya kutanyakan sebelum itu. Berapa usiamu? Umurku baru lima belas tahun. Apakah kau lebih tua, seumur, atau lebih muda dariku?
Aku menanyakan umurmu karena menurutku itu sangat erat hubungannya dengan pertanyaan pertama yang terlontar olehku tadi. Kalau kau lebih tua dariku, kurasa besar kemungkinan kau sudah lebih banyak tahu tentang berbagai hal daripada diriku. Termasuk tentang kematian.
Entah dari mana, tak jadi soal. Mungkin pengalaman (maksudku menghadapi kematian seseorang yang dekat denganmu, tentu, bukan kematianmu sendiri), atau bisa juga hasil diskusi atau perenunganmu sendiri pada satu waktu. Pokoknya, bukankah wawasan setiap orang pasti bertambah seiring dengan usianya? Baiklah, kurasa itu tidak mutlak juga. Aku pernah mendengar bahwa anak-anak kecil yang terancam penyakit mematikan telah terbiasa berpikir tentang kematian. Juga bagi mereka yang telah kehilangan seseorang sejak usia dini, kata “mati” saja mungkin sudah cukup akrab di telinganya.
Nah, kau termasuk yang mana? Kalau ada di antaranya, kau yang sudah lebih paham dariku mungkin akan bosan dengan perjalananku. Semoga saja kau bisa maklum. Maklum, karena aku masih remaja. Maklum, karena aku masih menginjak usia saat pencarian jati diri baru akan dimulai. Maklum, karena sebelumnya masih banyak hal lain yang menarik perhatianku untuk kupikirkan ketimbang kematian. Maklum, sebelumnya Tuhan tak pernah menakdirkanku untuk menghadapi kematian seorang kerabat. Nah ... kalau kau juga tidak pernah memikirkannya, berarti kau segolongan denganku.
Oh, rasanya aku ingat guru agamaku di sekolah pernah bilang, mati itu persoalan menyenangkan. Beliau bilang, mati berarti kembali kepada Sang Pencipta kita, dan bisa melihat Tuhan. Aku tahu pendapat itu, tetapi masih tidak mengerti. Jika hidup begitu menyenangkan, bagaimana mungkin aku merasa berhenti hidup itu pun menyenangkan? Yah, karena selama ini aku hanya mendengar pendapat seperti itu dari orang yang berusia jauh di atasku, untuk sementara cukuplah aku menenangkan diriku: tak apa jika belum mengerti. Bukankah aku memang belum dewasa?
Setiap manusia pasti memiliki akhir hidupnya atau dengan kata lain, menghadapi kematiannya. Itulah salah satu hal yang dulu pernah kudapatkan dari pelajaran agamaku, baik di rumah maupun sekolahku. Akan tetapi, aku tidak pernah benar-benar memikirkannya.
Aku sering mendengar berita tentang kematian seseorang. Yang paling banyak adalah orang yang telah berusia sangat tua. Mungkin karena itulah, aku selalu menganggap bahwa kematian adalah satu titik yang akan kita jumpai di akhir setelah melalui begitu banyak fase kehidupan: lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, menikah, punya anak, menyekolahkan anak, menikahkan anak, mempunyai cucu, dan seterusnya. Berikutnya adalah kematian orang karena penyakit yang berbahaya: kanker, sakit jantung, radang paru-paru, demam berdarah, atau lainnya. Sebutkanlah apa saja yang sering terdengar olehmu. Dua kabar kematian seperti inilah yang paling terdengar dari lingkungan sekitarku: tetangga, teman atau guru sekolah, atau keluarga dari mereka.