Namanya Rina. Kurasa aku harus menyebutnya "Tante Rina", sama seperti cara Aldo menyebut-nyebutnya sejak tadi. Apa aku sudah bilang siapa itu Aldo? Dia anak kedua Om Dika, sahabat mamaku. Sahabat mama dan papaku, sebenarnya, tetapi kupikir hubungannya dengan Mama jauh lebih dekat karena mereka juga rekan bisnis dan sudah bersahabat sejak kuliah S1. Nah, katanya, Tante Rina ini adik Om Dika. Dengan kata lain, ia bibi atau tantenya Aldo.
Sore ini, Tante Rina datang bersama anaknya, Angga. Katanya, Om Budi, suaminya, akan menyusul. Mereka semua datang dalam rangka ingin makan malam bersama aku dan Aldo yang berdua saja di rumah Om Dika.
Tante Rina sudah ada di dapur waktu aku masuk ke sana. Melihatku datang, ia tersenyum lebar dan bertanya, "Suka sop buntut, Rea?"
Pandangan mataku otomatis beralih ke mangkuk besar yang sedang dipegang Tante Rina. Di mangkuk itu, ada beberapa potongan buntut sapi mentah yang cukup berdaging, tetapi lemaknya tidak terlalu tebal. Ukuran tiap potongan pun tampak tidak jauh berbeda. Ini pemandangan yang tidak asing bagiku.
"Ukuran buntut sapi itu beda-beda, mengikuti bentuk ekornya. Di bagian ujung, cuma ada tulang, enggak ada dagingnya. Di pangkalnya ada daging, tapi masih lebih banyak tulangnya. Nah ... bagian tengah ini yang enak, paling banyak dagingnya. Pilih bagian ini kalau mau bikin sop buntut. Kalau bisa pilih juga yang lemaknya nggak banyak, supaya kita gampang nyingkirinnya sebelum direbus nanti," kata Papa saat pertama kali mengajakku berbelanja bahan untuk sup buntut.
Tidak hanya mengajak berbelanja bahan, Papa juga mengajariku memasaknya. Buntut sapi yang sudah dibeli tidak dicuci dulu sebelum direbus, hanya diberi perasaan jeruk di seluruh permukaannya (didiamkan selama lima menit). Namun, air perebus pertamanya selalu dibuang dan diganti dengan air panas yang baru untuk merebusnya kembali dengan api kecil. Tak lupa pula Papa membuang buih-buih halus yang muncul. Papa bilang, langkah-langkah ini efektif membuat kaldu sup buntut menjadi bening.
Ada beberapa rahasia di balik kelezatan sup buntut buatan Papa. Rasanya sangat kaya berkat kombinasi antara garam, merica, parutan biji pala, dan sedikit cengkih. Selain dari pala dan cengkih, rasa gurih dan aroma wanginya juga didapat dari bawang putih dan bawang bombai yang ditumis dengan sedikit mentega.
Tentu butuh waktu berjam-jam untuk menghasilkan daging sapi yang empuk. Namun, papaku punya trik khusus untuk mengakalinya. Bukan, jawabannya bukan panci bertekanan tinggi. Kami pernah punya panci presto, tetapi Papa tidak suka menggunakannya.
“Susah ngontrolnya kalau pakai presto. Kadang dagingnya terlalu empuk, tapi bumbunya kurang meresap,” jelas Papa waktu kutanya kenapa kami tak memanfaatkan panci itu.
“Susah pula bersihinnya,” Tiba-tiba Mama muncul dan menyumbangkan pendapatnya.
“Karena berat?” tebakku yang seumur hidup belum pernah mencuci panci presto.
“Itu, satu. Yang kedua, banyak kotoran nyelip di sela-sela tutupnya, juga di bagian karetnya. Repot!” Mama menggeleng-geleng cepat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa hidup praktis adalah salah satu moto hidupnya.
Jadi, Papa tidak mengandalkan panci presto untuk membuat daging sup buntut yang empuk dan lezat. Ia hanya memakai strategi nyala-matikan kompor selama beberapa menit dan beberapa kali. Tutup panci tidak boleh dibuka sama sekali agar pengempukan dagingnya berhasil.
“Rea?”
Aku tersentak. Kurasakan tepukan di bahuku. Kulihat Tante Rina berdiri di depanku, sepertinya jarak kami tidak sampai setengah meter.