Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #11

Aku dan Rumahku

Agustus 2001


Ketika baru belajar bahasa Inggris di bangku SD dulu, aku ingat, Mama yang mengajarkan arti kata house dan home. Ia menunjukkan sebuah gambar desain rumah padaku sambil berucap padaku, "This is a house."


Ada beberapa gambar yang digunakan Mama waktu itu. Berulang kali Mama menyebut kata house. Setelah itu, Mama menunjukkan foto rumah kami dan mengatakan, "This is our home."


Di umurku yang masih sangat belia, Mama sudah mengajakku mengenal perbedaan kedua kata itu: house dan home. Yang satu merujuk pada bangunan fisik, yang satu lagi berhubungan dengan perasaan dan ikatan emosional. Tempat seseorang merasakan kenyamanan dan menjadikan tujuannya untuk pulang ... itulah home. Sayang, dalam bahasa Indonesia, keduanya tidak dibedakan. Kita hanya mengenal kata rumah, yang dulu tak pernah kusangka dapat membuatku kerepotan di kemudian hari.


Aku membutuhkan waktu berhari-hari untuk menegaskan tekadku pada Om Dika: pulang. Pulang berarti ke rumah. Rumah berarti rumahku sendiri, di Medan, yang sudah kutempati belasan tahun, yang merupakan hak milik orang tuaku, dan kurasa kini menjadi hak milikku. Sementara itu, Om Dika mengatakan bahwa kini rumahnya adalah rumahku. Aku aman di sana, terjaga dan terlindungi. Terjaga dan terlindungi dari apa, tepatnya? Hujan badai dan panas terik matahari? Itu house, Om, bukan home. Terpaksa kupinjam bahasa negara lain demi menyampaikan maksudku sejelas-jelasnya: aku ingin pulang ke tempat ternyamanku, ke kehidupanku sendiri selama ini.


Om Dika mungkin punya beberapa alasan kuat untuk menahanku agar menetap di Jakarta. Akan tetapi, setiap alasan yang disampaikannya seolah menyuplai bahan bakar kemarahanku. Alasan pertama adalah lokasi makam Mama dan Papa. Katanya, masuk akal jika aku tinggal tidak terlalu jauh dari tempat peristirahatan mereka. Itu benar, tetapi mari kita tarik lagi kejadiannya ke belakang.


Kenapa mereka harus dikubur di Jakarta? Apakah sesulit itu menerbangkan mereka ke Medan? Aku tahu, tidak ada aturan bahwa jenazah harus dikubur di kota tempat orang itu meninggal. Aku mungkin terdengar seperti tak tahu berterima kasih kepada orang yang telah mengurus kematian keluargaku, tetapi di saat yang sama, aku juga merasa dicurangi. Sepertinya Om Dika terlalu banyak ikut campur dalam kehidupanku, mengambil alih semua hakku dalam membuat keputusan penting. Nah, ini juga terkait erat dengan alasan berikutnya.


Alasan kedua adalah kata Om Dika, kini aku adalah anak yang berada di bawah perwaliannya. Ini berarti sekarang semua kebutuhanku merupakan tanggung jawab sahabat mamaku itu. Ralat: bukan hanya kebutuhan, melainkan juga segala hal yang membutuhkan wewenang. Sebagai anak yang belum berumur delapan belas tahun, aku bahkan belum berhak untuk mengurus semua harta bendaku. Untuk bagian ini mungkin aku tak dapat melayangkan protes ke Om Dika. Bukan salahnya aku tak punya keluarga selain Mama dan Papa. Bukan salahnya juga orang tuaku berwasiat menitipkanku padanya dan ini sama sekali bukan berita baru.


Sejak kecil, aku sendiri sudah sering mendengar perkataan Mama bahwa Om Dika dan almarhumah Tante Yasmin (istri Om Dika yang wafat tahun lalu) adalah orang tua keduaku. Aku juga ingat beberapa kali Mama bilang, jika membutuhkan wali setelah Mama dan Papa, aku bisa mencari Om Dika. Namun, siapa sangka aku akan betul-betul mengalaminya?


Lihat selengkapnya