Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #12

Cerita Amel

Sejak diminta Om Dika untuk menemani Aurea ke Medan bersama Agung di sisa waktu libur kuliahnya, Amel merasa kepalanya penuh dengan rentetan pikiran. Permintaan "menemani" itu rasanya setara dengan "menjadi wali sementara" bagi bocah lima belas tahun yang baru saja ditinggal mati kedua orang tuanya. Apa tidak salah, tugas ini diberikan padanya?


Umurnya sendiri baru delapan belas tahun. Ia pernah dengar dari mama-papanya, sebenarnya menurut pemerintah, warga negara yang belum berusia 21 tahun masih dikategorikan sebagai anak. Nah. Dengan kata lain, status dirinya dan Agung—yang hanya lebih tua beberapa bulan darinya—sebetulnya tidak jauh berbeda dari Aurea: mereka juga masih remaja. Tahu apa mereka tentang menjadi wali dan mengurus anak lainnya?


"Anggap saja belajar mengurus adik," Saran ini kompak disuarakan baik oleh Om Dika maupun mama dan papanya.


Amel tidak begitu yakin, apakah kalimat itu menandakan mereka sedang bercanda atau benar-benar lupa. Ia kan memang betul-betul punya adik kandung (yang hampir seumur dengan Aurea). Masalahnya, daripada sebagai kakak, Amel lebih sering disangka sebagai adiknya.


Pelupa. Berantakan. Ceroboh. Buta arah. Tidak terampil dalam banyak hal. Rasanya Amel sudah hafal dengan semua label negatif yang melekat padanya itu, yang selama ini membuat sang adik lebih diandalkan daripada dirinya. Jadi, kenapa sekarang tiba-tiba ia yang diharapkan menjadi andalan?


"Yang lain nggak bisa ninggalin pekerjaan atau sekolahnya. Amel kan masih libur kuliahnya ..." jelas mamanya yang kelihatannya sudah "kongkalikong" dengan Om Dika.


"Dan Agung nggak bisa berangkat sendiri?" tebak Amel, mencoba memikirkan apa yang mungkin terjadi jika mindoan¹ yang juga teman sejurusan kuliahnya itu sendiri saja mengantar Aurea.


"Dua lebih baik daripada satu. Lagipula Agung laki-laki," sambung mamanya lagi.


"Kenapa emang kalo laki-laki?"


"Aurea kan perempuan," Kali ini Om Dika yang menjawab.


"Trus?"


Bukannya menjawab lagi, Om Dika malah tertawa dan berpaling ke mamanya. "Mbak, ini anakmu beneran mahasiswa Informatika ITB? Yang katanya sekarang itu jurusan yang paling susah masuknya se-Indonesia?"


Melihat mamanya yang ikut tertawa geli, Amel pun harus sabar mendapat penjelasan yang dinanti hingga beberapa menit setelahnya.


Hari ini, penjelasan itu seolah sengaja ditayangkan kembali ke hadapannya dalam bentuk yang paling konkret: pengalaman langsung.


Amel takkan lupa bagaimana jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat ketika mendengar kabar dari wali kelas Aurea siang tadi. Anak perempuan itu terjatuh dari tangga sekolah, sempat pingsan, dan tangan kanannya diduga mengalami patah tulang. Tak butuh waktu lama baginya dan Agung yang saat itu sudah berada di Kampung Keling untuk mencapai SMA Negeri 1 Medan, tempat Aurea bersekolah.


Amel merasa ada begitu banyak yang harus disyukuri. Syukurlah, ada rumah sakit yang tak terlalu jauh dari sekolah Aurea. Syukurlah, mereka sudah bersepakat untuk sementara mengantar jemput Aurea bersekolah setiap hari dengan menggunakan mobil almarhum papanya. Syukurlah, ia dan Agung berinisiatif bicara serius dengan wali kelas Aurea sejak beberapa hari yang lalu untuk "menitipkannya". Syukurlah, Yang Mahabaik membuatnya memergoki Aurea saat anak itu melakukan hal-hal yang cukup mencemaskan: duduk di kursi taman semalaman hingga dini hari, tidak benar-benar masuk ke kompleks sekolahnya setelah sampai di gerbangnya dan malah keluyuran ke tempat-tempat lain, atau berjam-jam mengunci diri di kamar mandi.


Dari semua peristiwa itu, juga dari apa yang sejak tadi sibuk ia lakukan dalam rangka membantu gadis yang sedang tidak dapat menggunakan satu tangannya itu, akhirnya ia paham. Syukurlah, ia menuruti permintaan mama dan pamannya. Syukurlah, ia, sebagai sesama perempuan, kini ada di samping Aurea, menjelma menjadi orang yang paling diandalkan dalam banyak hal.

Lihat selengkapnya