Aku tidak pernah patah tulang sebelumnya. Atau mungkin pernyataan yang lebih tepat: aku belum pernah mengalami cedera parah sampai harus dioperasi. Selama ini, cedera fisik paling parah yang pernah kualami adalah sedikit keseleo yang dapat diatasi dengan kompres es atau luka yang dapat diselesaikan dengan plester dari warung kelontong mana pun.
Kali ini, cedera yang kualami jauh dari sekadar luka atau keseleo. Aku sendiri tidak begitu paham, bagaimana kejadiannya. Yang kuingat, aku bersekolah seperti biasa. Yang tak kuingat adalah kapan dan kenapa aku akhirnya terbaring di UKS dengan sebelah lengan yang sudah terbebat kain dan papan. Terasa pula nyeri hebat di lengan bawahku itu.
Berkat Mbak Amel dan Mas Agung yang tiba-tiba saja sudah muncul di sekolah, aku tidak perlu merepotkan para guru atau teman-teman sekolah untuk mengantarku ke rumah sakit. Namun, sebenarnya aku juga tidak terlalu nyaman diurusi mereka. Bagaimanapun, seharusnya mereka bukan siapa-siapa. Mas Agung adalah anak sahabat mamaku dan Mbak Amel adalah sepupunya. Bukankah rasanya terlalu berlebihan jika mereka tiba-tiba sibuk mengurusiku sekarang? Bukankah mereka punya kehidupan masing-masing?
Lagipula, aku memang tak terbiasa untuk bergantung pada orang lain. Kapan terakhir kali aku meminta tolong? Aku tidak ingat. Jadi, ini benar-benar pengalaman yang tak menyenangkan bagiku. Mendadak aku harus dibantu dalam berbagai masalah kecil. Mulai dari memakai rok sekolah, memotong-motong sayur, sampai mengucek pakaianku sendiri ... tiba-tiba aku memerlukan bantuan orang lain untuk semua itu. Aku merasa kehilangan diriku sendiri.
Yang paling mengesalkan, aku gagal membuktikan diri dalam ajang "uji coba" Om Dika: bahwa aku pasti dapat menjaga diriku dengan baik dan akan hidup baik-baik saja di Medan. Aku mungkin tidak punya sanak saudara di sini, tetapi tempat ini adalah kota kelahiranku. Seluruh kehidupanku ada di sini. Aku pasti baik-baik saja. Paham kan, betapa geramnya aku karena gagal menggarisbawahi kalimat ini?
Patah tulang menjadi bukti yang menegasikan pernyataanku itu. Aku tidak baik-baik saja. Setidaknya, itu kata Om Dika, Mas Agung, dan tentu saja, yang belakangan ini paling sering mengingatkannya padaku: Mbak Amel. Entah berapa kali sudah ia mengatakannya sejak hari pertamanya menginap di rumahku ini.
Perlu dicatat, aku tidak pernah mengenal Mbak Amel sebelumnya. Sementara Mas Agung dan Aldo sudah kutahu—sepaket dengan Om Dika—sejak aku dapat mengingat, Mbak Amel adalah sosok yang benar-benar asing bagiku. Belum sampai sebulan kami saling mengenal, tiba-tiba aku harus bergantung kepadanya dalam banyak hal.
Ia membantu melepaskan dan memakaikan pakaianku. Ia membongkar kamarku dan membawakan berbagai keperluan pribadiku—termasuk pakaian dalam—ke rumah sakit saat aku harus diopname selama dua hari. Ia bahkan mengantarku hingga masuk ke dalam toilet waktu aku masih harus membawa-bawa botol infus ke mana-mana. Semua hanya gara-gara aku patah tulang lengan (kanan, lengan andalanku) dan dia perempuan.
Sebetulnya, aku sangat ragu untuk mengandalkannya. Memang aku belum lama tahu tentangnya, tetapi rasanya seumur hidup aku belum pernah bertemu manusia sekonyol ini. Mamaku juga sering menyebut dirinya pelupa dan ceroboh, tetapi menurutku levelnya tak separah orang ini. Beberapa kali Mama memecahkan barang pecah belah, membuat gosong makanan, atau meninggalkan dokumen penting di tempat-tempat ajaib. Pernah pula Mama menelepon di malam hari dan mengucapkan "selamat pagi" kepada lawan bicaranya. Namun, setidaknya Mama belum pernah mencoba berjalan cepat menembus pintu yang jelas-jelas tertutup hingga kepalanya benjol. Seingatku, ia juga tidak pernah panik mencari barang yang sebenarnya sudah digenggamnya (kunci, HP, pulpen, dan sebagainya) atau dikenakannya (topi, kacamata, jam tangan, atau bahkan celana). Dan yang pasti, andaipun menerima panggilan telepon usai mendengar azan, mamaku tidak pernah menyapa sang penelepon dengan, "Halo, Allahuakbar!"
"Eh, kok Allahuakbar ya ... hahaha ... maap, Ma, maksudnya assalamualaikum," kata Mbak Amel pada lawan bicaranya—kurasa itu mamanya—di seberang telepon, sementara sebelah tangannya terayun-ayun ke udara.
Aku membelalak ngeri saat menyadari ada benda di dalam genggaman tangan Mbak Amel yang terayun-ayun itu: cutter. Tanpa membuang waktu, segera kuhampiri ia dan kurebut senjata tajam itu dengan tangan kiriku yang sehat. Sungguh, perempuan ini berbahaya!