Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #14

Kuliah Sebelum Sekolah

Nama sekolah baruku SMA Taruna Cendekia. Sebagai "pelanggan" sekolah negeri di tingkat SMP dan SMA, aku sempat menolak niat Om Dika memindahkanku ke sekolah swasta ini. Namun, aku kalah berdebat setelah ia memaparkan sulitnya memproses mutasi siswa ke sekolah negeri di tengah-tengah periode belajar (bukan saat kenaikan kelas atau di akhir caturwulan). Fakta bahwa aku sempat memaksa untuk tetap bersekolah di Medan hingga beberapa minggu sejak kenaikanku ke kelas dua membuatku tak dapat menang melawan argumennya. Kurasa Om Dika cukup sopan dengan tidak menyebut ini salahku.


Meskipun begitu, aku sangat khawatir pada sekolah swasta yang direkomendasikannya ini. Apakah biayanya mahal? Bagaimana cara membayarnya? Apakah banyak lulusannya dapat masuk ke perguruan tinggi negeri? Aku juga harus memikirkan biaya kuliah, kan? Saat masih ada Mama Papa pun aku tak yakin sanggup berkuliah di universitas swasta, apalagi sekarang, setelah mereka tidak ada?


Ada beberapa hal yang disampaikan Om Dika yang agak menenangkanku. Catat: beberapa, tidak semua. Katanya, aku tak perlu khawatir tentang keuangan karena Papa dan Mama meninggalkan cukup bekal untukku dan tidak ada utang yang harus kutanggung. Hingga aku berumur delapan belas tahun nanti, Om Dika berjanji akan menjaga semua aset warisan mereka dan tak akan mengambil apa pun. Nah, bagian yang terakhir inilah yang membuatku merasa kurang nyaman. Kalau begitu, berarti Om Dika saat ini mengasuhku dengan uangnya sendiri?


Bukankah dengan kata lain, aku akan berutang banyak sekali padanya? Bagaimana kenyataan ini bisa membuatku hidup dengan tenang? Aku tak tahu cara yang tepat untuk mengutarakan semua kegelisahanku ini, tetapi entah bagaimana, sepertinya Om Dika membaca pikiranku.


"Jangan mikir bahwa Rea berutang pada Om, ya. Justru sebaliknya, ini cara Om untuk membayar utang Om yang banyak sekali ke Mama Papa Rea. Percayalah, andaipun Rea dibiayai Om untuk kuliah nanti, sepertinya itu masih jauuuh sekali dari cukup untuk melunasi semua utang Om pada Mama Papa Rea," kata Om Dika setelah melihatku terdiam cukup lama.


"Utang Om ke Mama Papa itu ... berupa uang?"


"Salah satunya, ya ... walaupun mereka nggak pernah menyatakan semua yang mereka berikan sebagai pinjaman yang harus dikembalikan .. tapi ya, kalau Om yang ditanya, menurut Om, itu utang yang harus dibayar."


Aku ingat ajaran Mama dan Papa tentang kedermawanan. Tidak jarang Papa mengobati anak sakit dari keluarga takmampu tanpa memungut bayaran sepeser pun. Mama juga sering mengajakku menyisihkan uang saku untuk bersedekah ke mana saja. Akan tetapi, aku tidak pernah tahu sebesar apa sebenarnya kemampuan finansial mereka untuk berbagi dengan orang lain. Mengingat Mama yang selalu mengatakan bahwa tak ada dana pendidikan khusus jika aku tidak masuk sekolah negeri, aku tak pernah berpikir bahwa harta mereka berlimpah. Fakta bahwa mereka tidak memiliki utang saja sudah cukup melegakan bagiku.


"Jadi, untuk sekolah ini, Om membiayai Rea? Boleh tahu besarnya berapa? Dan kenapa pilih sekolah ini?" tanyaku lagi.


"Nah .. sebenarnya nggak semua yang masuk sekolah ini bayar ..."


"Ada program beasiswa?" Mataku pasti berbinar-binar waktu mengatakan ini.


"Ya, semacam itulah. Sekolah ini menerapkan subsidi silang. Ada yang jadi penerima beasiswa, ada yang ambil peran donatur, bahkan ada donatur ekstra."


"Oh ... menarik ... tapi apa itu nggak malah bikin kesenjangan sosial? Terang-terangan ketahuan apa enggak, siapa yang ngasih dan siapa yang dikasih?" Mulai ada kekhawatiran yang kurasakan.


"Apa yang Rea cemaskan? Minder kalau jadi yang dikasih?"


Aku mengangguk.

Lihat selengkapnya