Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #15

Kehidupan Baru

September 2001


Kurasa standar kebahagiaanku menurun drastis. Kalau dulu aku hanya puas jika rambutku sudah terkuncir rapi dan licin tanpa cela dalam kurun waktu lima menit setelah mandi pagi, kini aku sudah cukup bangga karena dapat berdandan seadanya dalam waktu dua puluh menit setelah mandi. Jangan salah. Yang kumaksud dengan "berdandan" di sini adalah berpakaian dan menyisir rambut lurus sebahuku sebisanya. Lupakan kuncir. Rambutku selalu digerai sejak Mbak Amel tidak lagi tinggal bersamaku.


Sekarang aku tinggal di rumah Om Dika. Selain aku, ada tiga orang yang tidur di rumah ini: Aldo, Mas Agung (yang mungkin seharusnya tidak dihitung karena beberapa hari yang lalu sudah kembali tinggal di rumah kosnya di Bandung sebelum memulai perkuliahannya di semester baru), dan Om Dika sendiri. Ketiganya lelaki. Manalah elok meminta salah satu dari mereka menguncirkan rambutku, kan?


Aku tak pernah suka membiarkan rambut tergerai karena gerah, mudah berantakan, dan tentu saja merepotkan kalau tak ingin alasan kedua terwujud. Bolak-balik merapikan rambut tidak termasuk dalam daftar hobiku. Namun, apa boleh buat, kan, untuk kali ini?


Sesuai perkiraan, rambutku acak-acakan karena diterpa angin saat naik sepeda motor. Seumur hidup, ini kali pertamaku menggunakan jenis kendaraan yang satu ini ke sekolah. Papa bilang, ia bisa mengendarai sepeda motor, tetapi tidak lagi merasa memerlukannya sejak mampu membeli mobil pribadi. Karena itulah, kendaraan yang kukenal untuk bersekolah selama ini hanya antara mobil angkutan umum atau mobil pribadi.


Jadi, wajar kan, jika aku sempat menolak ketika Om Dika dan Aldo menyarankan agar aku membonceng Mas Angga yang bersepeda motor ke sekolah? Aku merasa itu akan merepotkan baik bagi Mas Angga maupun bagiku sendiri. Akan tetapi, Aldo bilang, naik kendaraan umum akan jauh lebih merepotkan selama lenganku yang patah belum sembuh.


"Bukan lo doang yang repot, gue juga," kata Aldo gusar waktu itu.


Aku mengernyit. "Kenapa?"


"Lo pake baju aja satu jam. Kita mau telat ke sekolah tiap hari? Udah deeh, mending lo bonceng Mas Angga, jadi gue juga bisa berangkat sendiri lebih awal."


"Dua puluh menit, nggak sampai sejam," koreksiku tajam. "Lagian aku nggak pernah mikir berangkat bareng. Aku bisa naik suda .. err, angkot sendiri. Selama ini juga gitu."


Kulihat Aldo mendengus. Namun, sebelum ia sempat berujar lagi, Om Dika sudah mendahuluinya.


"Rea ... ini cuma dua bulan, kok. Nanti setelah tangan Rea sembuh, silakan kalau mau ngangkot sendiri. Atau Rea pinginnya dianter Om naik mobil?"


"Trus Papi mau sampe kantor jam berapa? Lagi santai banget atau tiba-tiba Jakarta sekarang jadi kota yang sepi di pagi hari?"


Kupingku memanas. Aku tahu, Aldo sedang menyindir. Kurasa dia punya masalah dalam kemampuan-bicara-baik-baik.


"Di Medan juga aku jarang naik mobil pribadi ke sekolah," tukasku kesal, lalu berpaling pada Om Dika lagi. "Nggak, Om. Jangan dianter. Rea bisa sendiri. Kemarin kan udah ditunjukin jalannya. Sekali naik mikrolet, trus sambung metromini ..."


"Ya, itu dua bulan lagi setelah sembuh, boleh. Sekarang, please, kabulkan permintaan Om, ya? Boncengan sama Angga aja. Dia tuh hobi ngasih tumpangan. Bahagia banget pasti kalo Rea mau, lumayan tuh dua bulan dia ga usah nyari-nyari penumpang."


Satu alisku otomatis terangkat. Hobi ngasih tumpangan? Maksudnya tukang ojek?


"Dia ... pingin dibayar?" tanyaku hati-hati.


Lihat selengkapnya