Meskipun masih jam setengah tujuh pagi, SMA Taruna Cendekia sudah tak begitu sepi saat aku dan Mas Angga memasuki area dalam sekolah. Mengira salah membaca jam, aku sampai mengecek jam tanganku lagi ketika melihat belasan anak sebayaku di tengah lapangan sedang melakukan push up.
"OSIS magang, angkatan lo tuh," kata Mas Angga yang berjalan di sebelahku.
"OSIS magang? Maksudnya?"
"Mereka pengurus OSIS yang baru, tapi masih dianggap magang sampai November nanti. Udah kerja, punya kewajiban, tapi belom punya hak dan wewenang. Kekuasaan masih dipegang sama OSIS lama. Kasian, yak?"
"Emang kekuasaan macam apa yang dipegang OSIS?"
"Banyak. Ntar lama-lama lo juga paham," jawab Mas Angga sebelum tiba-tiba menghentikan langkahnya. "O iya, hampir lupa. Tunggu bentar di sini."
Tanpa menungguku menyahut, Mas Angga meninggalkanku di pinggir lapangan. Setelah naik dan turun melewati semacam panggung ubin yang luas, ia berjalan ke arah tengah lapangan. Semua orang yang "mencium bumi" tadi sudah berdiri ketika Mas Angga sampai di sana.
Tiba-tiba Mas Angga merangkulkan sebelah lengannya ke salah satu laki-laki bertubuh besar yang berdiri di depan barisan. Tidak seperti sebagian besar siswa yang berbaris di hadapannya dengan berpakaian olahraga, ia memakai kemeja dan celana seragam putih abu-abu biasa seperti Mas Angga. Perbedaan lain yang kutemukan adalah ban kuning yang melingkar di lengan kiri kemejanya. Beberapa orang di sekitarnya juga memakai aksesori yang serupa pada kemeja seragam mereka, tetapi warnanya berbeda-beda. Banyak yang berwarna biru. Beberapa berwarna hijau. Ada sedikit yang berwarna merah. Namun, yang memakai ban kuning benar-benar hanya satu orang.
Lelaki berban kuning ini terlihat tak begitu nyaman dirangkul oleh Mas Angga. Setelah beberapa detik menunjukkan gerakan perlawanan, akhirnya ia terlepas juga dari rangkulan itu. Sementara Mas Angga bersedekap, si ban kuning berkacak pinggang. Kemudian, ia memutar tubuhnya hingga mengarah padaku. Kami bertatapan. Lamanya tak sampai tiga detik, tetapi cukup membuatku tak nyaman. Apa maksud tatapan tajamnya? Ketidaksukaan?
Ia kembali memutar tubuhnya dan kelihatannya menyerukan sesuatu ke arah barisan di hadapannya. Seorang anak laki-laki berpakaian olahraga keluar dari barisan itu. Mereka berbicara sebentar, lalu sekonyong-konyong Mas Angga merangkul anak itu juga dan mengajaknya menjauh dari keramaian. Keduanya berjalan bersama ke pinggir lapangan, ke arahku.
Di balik penampilannya yang berantakan dan penuh debu (mengingatkanku pada teman-teman klubku yang baru berguling-guling di aspal), ada kesan karismatik yang kutangkap dari anak laki-laki yang tersenyum padaku ini. Mukanya basah karena keringat, tetapi matanya berkilat memancarkan semangat dan keramahan. Begitu berhenti tepat selangkah di hadapanku, ia menggosok-gosokkan telapak tangan kiri ke baju kausnya, lalu mengulurkannya. Pita kuning kecil yang disematkan dengan peniti di lengan baju kirinya jadi terlihat jelas olehku.
"Arya," ucapnya riang. "Ini pertama kalinya gue salaman pake tangan kiri."
"Tapi lo udah cuci tangan pake sabun kan abis cebok?" sambar Mas Angga jahil, sementara orang yang ditimpali tampak tidak peduli. Ia tetap menunjukkan fokusnya padaku.
"Aurea," Aku tersenyum dan menyambut uluran tangan kirinya dengan tangan kiriku.
"Eh, sori, masih kotor ya, tangan gue? Nanti gue anter ke wastafel sebelum ke kelas."
"Nah, kan ... gue bilang apa ..."
"Bukan cebok, woy! Ini bekas debu di lapangan tadi ..." Arya tampak gusar menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya ke celananya sendiri.
"Pagi-pagi udah mandi debu. Kagak mandi emang di rumah?" Mas Angga terkekeh sembari kembali memandang ke arah tengah lapangan. "Jadi kalian bikin salah besar atau majikan kalian yang lagi PMS tuh?"