Dibandingkan dengan sekolah lamaku di Medan, SMA Taruna Cendekia ternyata tidak begitu besar. Kalau di sekolahku dulu ada sepuluh kelas untuk tiap angkatan (dengan lebih dari empat puluh murid sekelasnya), di sini hanya ada lima kelas per angkatan. Kata Arya, jumlah penghuni tiap kelasnya pun kurang dari tiga puluh anak. Kalau begitu, berarti total siswa di sekolah ini tidak sampai empat ratus orang. Wow. Bukan hal yang aneh jika teman-teman seangkatan—atau sesekolah ini—saling mengenal.
Hal lain yang membuatku kagum dari sekolah ini adalah sarananya. Dengan jumlah pelajar yang tidak sebanyak itu, menurutku sekolah ini memberikan fasilitas yang lebih dari cukup. Setiap jenis laboratorium—biologi, kimia, fisika, bahasa, dan seni—tampak luas dan lengkap. Koleksi perpustakaannya pun menakjubkan. Kemudian, ada pula yang membuatku sungguh ingin memekik girang: selain lapangan upacara dan lapangan basket outdoor, sekolah ini juga punya aula multifungsi yang dapat difungsikan sebagai lapangan berbagai jenis olahraga termasuk bulu tangkis!
Kecuali aula dan dan lapangan, semua fasilitas itu tersebar di bangunan bertingkat tiga, bersama ruang-ruang kelas. Kelas satu ada di lantai satu, kelas dua di lantai dua, sementara kelas tiga ada di lantai tiga. Kata Arya, urutan ini terbalik dengan tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya, kelas satu menempati lantai tiga dan kelas tiga menempati lantai dasar. Namun, karena tahun ini ada dua murid kelas satu yang berkursi roda, lantai terbawah dikhususkan untuk semua kelas satu. Meski itu hanya cerita trivia, rasanya aku terharu mendengarnya.
Usai berkeliling dan memperlihatkan hampir seluruh sudut sekolah, Arya mengajakku ke kelas kami: 2A. Ruang kelas itu sudah ramai ketika kami tiba di sana. Ternyata kami menghabiskan waktu cukup lama untuk mengelilingi sekolah yang sebenarnya tidak terlalu besar ini (tidak sebesar sekolahku di Medan).
Sampai di kelas, Arya langsung menunjukkan meja dan kursi yang dapat kutempati: persis di depan meja guru.
Sial. Aku baru ingat dampak negatif pindah sekolah yang satu ini. Selama ini, aku hanya memperhatikan bagaimana teman-temanku yang menjadi murid pindahan tidak dapat memlih sendiri bangkunya. Umumnya mereka menempati bangku terdepan karena itulah bangku yang tersisa setelah semua murid lama lebih dulu memilih bangku lainnya. Tak pernah kusangka, suatu hari aku akan mengalaminya juga.
Betul juga. Ini pertama kalinya aku menjadi murid pindahan.
"Kemarin wali kelas udah bilang, lo bisa duduk di sini. Lo sebangku sama ... hm, mana ya, dia? Tasnya udah di sini," Arya celingukan saat aku sudah mencapai mejaku.
Tak lama setelah menduduki kursi di belakang meja itu, terdengar bunyi bel. "Nggak papa, nanti aku kenalan sendiri. Makasih, ya. Kamu nggak ganti baju?" kataku pada Arya.
Arya terbelalak. "O iya! Kudu mandi, sih! Thanks, Rea! Gue tinggal ya!" serunya sebelum melesat meninggalkanku, ke arah meja dan kursi di deret belakang.
Pandanganku sempat mengikuti Arya karena penasaran, di bangku mana ia duduk. Rasa iri timbul saat melihat ia membongkar tas yang ada di meja paling belakang. Posisi mejaku juga di bagian itu selama bertahun-tahun: bangku paling belakang, bangku favoritku.
Teman sebangkuku datang hampir bersamaan dengan guru yang mengajar di jam pelajaran pertama. Aku belum mengenali wajahnya dengan jelas karena ia terus menundukkan pandangannya, termasuk saat tiba di sebelah kursiku dan mengatakan, "Permisi."
Aku langsung berdiri dan memberi jalan untuknya agar dapat duduk di kursinya sendiri (yang dirapatkan ke dinding kelas seperti halnya mejanya dan meja guru yang ada di depan kami). Setelah duduk, ia masih terus menunduk seraya mengeluarkan buku dan alat tulisnya dari tas. Jangankan menyapa, melirik ke arahku pun tidak. Aku jadi merasa kikuk. Apakah dia tak suka atau tak mau berbicara?
Setelah menimbang-nimbang beberapa detik, kuputuskan untuk lebih dulu mencoba bicara padanya.