Adisti tertegun. Keheningan yang baginya membosankan sepanjang pagi itu tiba-tiba saja terpecah oleh melodi Fur Elise karya Beethoven yang mengalun dari ruang tengah. Membayangkan kehadiran orang yang memainkannya membuat senyum sedikit tersungging di bibirnya.
Tidak lama-lama, senyum kecil itu segera memudar ketika pandangan Adisti kembali ke halaman buku yang terbuka di hadapannya. Masih ada tiga nomor soal program linier yang harus diselesaikannya. Dengan tepat, tentunya. Kalau masih ada yang salah, ia dapat membayangkan tambahan soal baru yang harus dikerjakannya lagi. Bisa-bisa ia tak keluar-keluar dari ruangan yang dibencinya ini.
Ibarat mesin-mesin yang berkarat, Adisti merasa saat ini otaknya sedang dipaksa bekerja di luar kesanggupannya. Kemudian, tanpa ada yang mengomandoi, ingatannya melayang ke pemandangan sehari-hari yang begitu dekat ia saksikan belakangan ini: Aurea, teman sebangkunya yang baru. Dengan tangan kanan yang patah, bocah—yang lebih muda darinya setahun lebih—itu tentu terpaksa menulis dengan tangan kiri. Namun, alih-alih berusaha keras melatih tangan kirinya, anak itu malah terus melatih otaknya yang sudah terlalu cemerlang: mengerjakan semua soal pelajaran eksakta dengan cara mencongak. Dengan cepat dan tanpa kesalahan sama sekali. Seandainya bisa, rasanya Adisti bersedia menukar semua miliknya dengan bakat seluar biasa itu.
"Udah, Adis?"
Adisti merasa jantungnya berdegup lebih kencang bersamaan dengan kedatangan ibunya ke ruangan itu. Kadang-kadang ia penasaran. Apa ada anak lain yang setegang ini tiap mendengar suara ibunya sendiri?
"Tiga lagi, Bu ..." Adisti menjawab pelan.
"Ya ampun .... dari tadi baru nambah dua? Kamu ngelamun apa gimana, sih?"
"Eng ... " Adisti teringat lagi pada lamunannya tentang Aurea tadi. Mana mungkin ia menceritakannya pada Ibu? "Tadi pelan-pelan ... trus cek lagi ...."
"Ck. Dipercepat lagi dong. Teliti wajib, tapi cepat juga harus. Ujian nanti kan nggak seharian. Mau dapat nilai berapa kalau dua jam cuma ngerjain lima soal?"
"Buudeee ..."
"Bude Lisaa ..."
Mata Adisti spontan membulat mendengar suara-suara bernada riang itu. Malaikat-malaikat penyelamatnya hari ini telah datang. Benar saja, dalam hitungan detik, dua wajah yang sudah dibayangkannya muncul di ruang belajar keluarganya itu.
"Eeeh, Angga, Arma, udah datang! Barengan nyampenya ini? Arma, dateng sama siapa aja?" Adisti dapat merasakan perubahan mendadak pada warna suara ibunya. Kata-kata teguran yang tajam menusuk tadi kini tergantikan dengan kalimat-kalimat sapaan yang lembut dan ramah.
"Papa, Mama, Eyang. Papa nggak kerja lho, hari ini," Anak perempuan kecil yang disebut Arma menjawab dengan riang. "Bude, lihat. Mama bikin kue, nih! Enak, lho!"
"Waah ... iya, kayaknya enak, ya."
"Iyaa! Kemarin juga Mama bikin, langsung abis! Enak banget! Ayo, Bude, cobain sekarang! Nih, Bude pegang ya ... Arma ambil piso dulu ..."
"Eh! Eh! Bude aja yang ambil pisonya! Tunggu, Arma!"
Adisti memejamkan mata begitu ibunya tergopoh-gopoh mengejar si kecil Arma. "Makasih, Arma ..."
"Keren kan, ide gue?"
Adisti menoleh ke arah sosok yang sedang berdiri di dekatnya sambil memamerkan cengiran lebar. Ia pun meringis dan berujar tulus, "Matur nuwun sanget¹ udah nyelametin aku dari neraka pagi ini, Mas Angga."
Angga terbahak. "Kalimat lo ... bisa-bisanya sama persis dengan Arya minggu lalu!"