Apa itu keluarga? Selama ini, kupikir kata ini merujuk pada sekumpulan orang yang bertalian darah.
Aku masih ingat, pembahasan tentang ini ada di pelajaran IPS kelas 3 SD dulu (sebelum tiba di tingkat ini, murid sekolah dasar belum kenal pelajaran IPS). Aku juga ingat pertanyaanku pada Mama dan Papa setelah itu karena sebelumnya, yang kupahami betul hanyalah konsep keluarga inti: Papa, Mama, dan aku sendiri. Bagaimana dengan keluarga besar?
Kenapa aku tidak punya opung¹, tulang², atau namboru³ seperti sebagian besar temanku? Belum lagi hubungan persepupuan seperti yang dimiliki Mbak Amel, Mas Agung, Mas Angga, Aldo, Arya, dan Adisti (yang kuketahui hubungannya setelah Arya sibuk mengurusnya saat ia pingsan karena maag akut pada hari pertamaku menjadi teman sebangkunya). Tampaknya menyenangkan jika punya saudara sebanyak itu.
Papa bilang, ia sudah lama tidak punya sanak saudara. Kakekku sudah meninggal dunia saat Papa masih kecil, disusul adik-adik Papa yang tak tertolong karena diare dan demam berdarah (pengalaman itu yang membuat papaku bertekad menjadi dokter spesialis anak, meskipun dalam kondisi ekonomi yang kurang baik dan menjanjikan). Selanjutnya, nenekku yang sakit-sakitan—sejak ditinggal suami dan beberapa anaknya—juga akhirnya wafat saat Papa baru mulai berkuliah. Jadi, tidak salah jika Papa disebut sebatang kara.
"Karena itu, jangan sia-siakan rezeki yang kita dapat sekarang. Makanan bergizi, tempat tinggal yang layak, kesempatan berolahraga, kemampuan untuk berobat ke dokter ... sekilas mungkin tampak sepele di mata kita. Nyatanya, itu semua masih 'barang mewah' bagi banyak orang di negeri ini. Ungkapan 'orang miskin dilarang sakit' itu benar, Papa ngerasain sendiri," kata papaku dulu, menutup cerita tentang kisah masa lalu keluarganya yang membuatku takut.
Terima kasih, Papa. Setidaknya Papa berhasil membalikkan keadaan, menjadikan keluarga kecil kita sebagai—mungkin—salah satu keluarga tersehat di negeri ini. Sayang, sepertinya Papa lupa mengajarkanku kemungkinan lain yang dapat menyebabkan seseorang tutup usia (selain sakit) dan kini aku masih belum mampu menerimanya dengan ikhlas. Haruskah aku marah pada Papa? Atau pada Tuhan yang sepertinya senang bercanda denganku?
Sama sepertiku, Papa pun tak sempat mengenal nenek dan kakeknya. Konon, saudara-saudara jauhnya seharusnya tersebar di Jakarta, Medan, dan Padang, tetapi hingga saat ini Papa belum pernah berhasil menemukan satu orang pun. Apakah ada di antara mereka yang masih hidup? Wallahualam. Sebenarnya, ini juga salah satu alasan Papa memilih Medan sebagai kota domisili kami. Siapa tahu, suatu saat nanti kami akan dapat menemukan saudara-saudara jauh kami dan menyambung kembali tali silaturahmi itu.
"Rea ... Aurea!"
Renunganku dihentikan oleh bunyi gedoran yang cukup keras pada pintu kamarku. Aku segera bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu. Malas dan enggan yang terasa harus kukalahkan kuat-kuat dalam situasi seperti ini. Kalau tidak, bisa-bisa pintu kamar ini rusak karena didobrak lagi (sebelumnya sudah pernah dilakukan karena aku tak sadarkan diri di dalam kamar, kata Aldo, walau aku tak ingat sama sekali).
"Ya, Tante?" Aku menyahut sambil menbuka pintu.
Selain suaranya, aku juga hafal kebiasaannya. Tante Rina selalu datang tiap Selasa malam, Jumat malam, dan Minggu siang untuk makan bersama. Di antara semua saudara Om Dika (yang ternyata tidak sedikit), ia termasuk yang paling sering berkunjung ke rumah ini. Frekuensinya hanya kalah dari Mas Angga, anaknya sendiri, yang tiap hari kutumpangi untuk pergi dan pulang sekolah.
"Rea lagi sibuk?"
Aku menggeleng. "Tiduran aja, Tante."
"Makan, yuk. Ada batagor sama siomay Bandung. Waktu itu Mbak Amel cerita, katanya Rea belum pernah makan, kan?"
"Mbak Amel lagi di Jakarta?"
Tante Rina mengangguk. "Sempat ke rumah Tante, bawain oleh-oleh. Nitip buat Rea juga katanya."
Ah, Mbak Amel. Seharusnya langsung bawakan ke sini, dong! Entah kenapa, aku sedikit kecewa karena tidak bertemu dengannya.
"Mau coba?"