Sejak tahu masa lalu Mas Angga, kenapa ya, perasaanku sepertinya lebih ringan? Apa mungkin karena aku jadi merasa tak terlalu aneh atau janggal berada di tengah-tengah keluarga Om Dika ini? Di keluarga ini ada orang yang kurang lebih posisinya sama sepertiku, tidak punya hubungan darah sedikit pun dengan yang lain, tapi tetap dianggap sebagai bagian dari mereka. Juga tentunya soal sama-sama kehilangan kedua orang tua karena kecelakaan. Dan dia mengalaminya di usia yang jauh lebih muda dariku sekarang. Kalau sebelumnya kupikir aku anak tersial di dunia, kini aku tak begitu yakin.
Aku menikmati hari-hariku pergi ke sekolah dengan Mas Angga. Mengikutinya yang senang membicarakan macam-macam (rasanya baru kali ini aku mengenal laki-laki seceriwis dia), aku jadi tak sungkan bercerita lebih banyak padanya. Kumanfaatkan waktu-waktu singkat sebelum berangkat dari rumah Om Dika dan sesudah tiba di parkiran motor sekolah untuk menjadikannya buku harian berjalan. Dalam rangka menerapkan saran Tante Rina, kurasa ini langkah yang lebih bijak daripada membeli voice recorder atau HP.
Ada rasa lega dan senang tiap aku bercerita pada Mas Angga, tak peduli apa pun isi obrolannya. Termasuk hari ini, ketika aku mengangkat topik yang kuyakin bukan topik favorit kebanyakan orang: keinginan menyakiti diri sendiri. Ketakutanku untuk membicarakan ini langsung menguap begitu mendengar responsnya yang sangat santai.
"Pernah banget, dong. Berkali-kali," jawabnya cepat atas kalimat pertanyaan yang kuluncurkan dengan hati-hati pagi ini di parkiran sekolah: apakah ia pernah berpikir untuk menyakiti diri sendiri.
Aku yang tadinya masih berpura-pura sibuk merapikan rambut di depan kaca spion motornya langsung membalikkan badan seketika ke arahnya. "Bisa ceritain kayak gimana?"
"Seperti yang pernah gue bilang kemaren .. kayaknya gue ngerasa bersalah. Kami terus bareng-bareng, ngalamin kecelakaan yang sama, tapi kenapa gue selamet sendiri, sementara Bapak dan Ibu enggak?"
Rasanya seakan tersetrum mendengar jawaban itu. Cerita Mas Angga seolah menjawab kemarahan yang terus memenuhi kepala dan dadaku sejak kepergian Mama dan Papa. Apakah ceritanya akan berbeda kalau dulu aku ikut ke Jakarta bersama mereka? Alih-alih ditinggal mati sendiri, apa boleh aku ikut tewas dalam kecelakaan bersama mereka?
"Trus?" tanyaku, meminta Mas Angga melanjutkan ceritanya.
"Mungkin karena masih kecil, gue nggak terlalu paham juga ya. Jelas gue belum paham istilah self-harming. Gue bahkan nggak sadar sama segala yang gue lakukan. Gue suka sengaja nabrak-nabrakin badan gue ke meja, lemari, tembok, atau apalah yang keras-keras gitu. Pernah juga sampe coba ngegunting jari sendiri. Pingin tau, gue bisa nggak sih kehabisan darah juga kayak Bapak Ibu ... atau apa gue alien jangan-jangan, nggak punya darah, makanya nggak ikutan mati?" celoteh Mas Angga sambil tertawa sendiri.
Aku hanya mengulas senyum basa-basi demi kesantunan. Sesungguhnya aku sama sekali tak ingin tertawa. Aku tahu persis, apa yang dikisahkan Mas Angga bukan lelucon. Aku pun mengalaminya dan ...
... masih berlangsung. Bagiku, ini sama sekali belum berlalu.
"Gue juga pernah patah kaki. Sengaja lompat dari dahan pohon jambu yang paling tinggi. Walau belum tahu apa itu bunuh diri, kayaknya gue bener-bener nyari rasa paling sakit di badan itu gimana sih," sambung Mas Angga lagi, yang membuat perutku seolah tertonjok.
Tiba-tiba saja "adegan film yang kubintangi" beberapa minggu yang lalu terputar lagi dalam kepalaku: aku, di puncak anak tangga di sekolah lamaku, melangkahkan kakiku lebar-lebar, sama sekali tak berniat menginjak anak tangga berikutnya.