Arya sudah lupa, berapa belas kali sudah ia menyambangi ruangan kelas ini dalam tiga bulan terakhir. Yang jelas pasti lebih dari dua kali dalam seminggu. Beberapa kali bahkan pernah ia harus datang tiga kali dalam satu hari. Sudah seperti minum obat saja rasanya.
Kakak-kakak penghuni kelas 3 IPA 1 pastilah tidak hanya hafal siapa Arya, tetapi juga apa keperluannya dan mungkin bagaimana penderitaannya setiap datang ke sini. Seperti pagi ini. Hampir setiap kakak kelas yang baru tiba di ruangan itu mendapat tontonan gratis aksi pelemparan kertas ke wajahnya.
Draf proposal yang disusun Arya bersama beberapa rekannya sesama anggota OSIS itu terdiri atas delapan lembar kertas. Sejauh ini, sudah empat kertas yang dihempaskan ke wajahnya, satu per satu. Berarti siksaan yang dialaminya baru berjalan setengah sesi. Kecil kemungkinannya sisa kertas yang masih ada si tangan seniornya itu tak mengalami nasib yang sama.
SREK.
Lembar kelima ... sisa tiga lagi, Arya menghitung dalam hati sembari memungut lembar kertas yang terjatuh. Dalam hati, ia bersyukur, hanya ia yang harus datang mewakili tim penyusun. Tak tega juga rasanya jika teman-teman yang sudah kurang tidur malam tadi—demi menyelesaikan proposal itu dan beberapa pekerjaan lainnya—masih harus menanggung perlakuan kasar ini.
Biarlah ia saja. Selain karena itu memang tanggung jawabnya sebagai ketua, toh Arya merasa sudah kebal padanya. Dia yakin sudah sangat mengenal orang ini hingga mudah saja untuk tidak meneruskan ke hati apa pun yang dikatakan ataupun dilakukannya.
"Jadi sebenarnya kemaren-kemaren lo pada nggak dengerin gue apa gimana? Di mana letak perubahan konsepnya kalo lo cuma panjang lebar ngarang indah argumennya, tapi idenya sendiri nggak berubah? Sebenarnya kalian tuh pengurus OSIS atau penulis novel?"
SREK.
Dua lagi, gumam Arya dalam hati saat menangkap lembaran kertas keenam yang dilempar ke wajahnya.
"Itu tadi pertanyaan, bukan pernyataan. Apa jawabannya?"
SREK.
Kertas ketujuh. Arya menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Bertekad menjaga emosinya agar tidak terpancing, dirapalkannya lagi dalam hati alasan pertamanya dulu mencalonkan diri menjadi ketua OSIS. Demi perubahan. Demi perombakan tradisi konyol yang melestarikan feodalisme ini.
SREK.
Akhirnya, lembar terakhir.
"Kenapa lo masih diem aja?!"
"Mungkin karena dia jaga perasaan gue, atau temen-temen lo yang lain di sini, yang mungkin juga pingin jadi penulis novel."