Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #22

Kisah-Kisah Rahasia

Aku benar-benar bingung. Pertama, aku masih tak dapat mengerti perkataan Adisti di toilet pagi tadi. Dari nada bicaranya, kutebak ia punya perasaan tak senang padaku. Kenapa? Ini yang tak kupahami.


Apa maksudnya eyang, sepupu, dan sedarah? Yang kutahu, semua kosakata ini baru akrab denganku belakangan ini, sejak aku diasuh Om Dika. Sebelumnya, aku hanya pernah mendengarnya sekilas dari beberapa teman sekolahku dulu, waktu mereka menceritakan keluarga besarnya.


Tentu, di Medan, lebih banyak yang menggunakan istilah opung. Ada juga beberapa teman yang menyebut kakeknya dengan opa, datuk, dan kakek. Sementara itu, kata eyang dan mbah pernah kudengar dari sedikit temanku yang bersuku Jawa.


Namun, pembicaraan itu tak sukses berlanjut di tengah keluargaku. Setelah didongengi kisah keluarga Papa yang tragis, aku juga sempat bertanya tentang keluarga Mama. Bukannya menceritakannya panjang lebar sepeeti Papa, Mama malah bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami. Sebelum Mama pergi, sempat kulihat matanya yang berkaca-kaca, padahal beberapa saat sebelumnya ia tampak riang dan seolah siap bercerita.


Adegan itu hanya terjadi sekali, tetapi tak mungkin hilang dari memoriku. Mungkin karena aku tidak pernah melihat Mama menangis. Label "cewek lebih cengeng daripada cowok" sungguh tidak berlaku di keluargaku. Sementara Papa tak jarang meneteskan air mata saat terharu mendengar kisah sedih pasiennya, Mama sama sekali tak pernah membasahi matanya jika menonton, membaca, atau mendengar cerita sedih. Betul-betul tidak pernah kecuali sekali itu saja, ketika aku bertanya tentang keluarga besarnya.


Awalnya kukira Mama terbawa sedih karena cerita Papa tentang keluarganya. Akan tetapi, ketika Papa memintaku menunggu Mama benar-benar siap untuk bercerita dan tak pernah lagi mendesaknya dengan pertanyaan tentang silsilah keluarganya, aku berkesimpulan lain. Kisah Mama kehilangan keluarganya pasti lebih tragis daripada kisah keluarga Papa. Kalau begitu, biar sajalah aku tak tahu ceritanya. Yang penting Mama tidak bersedih.


Jadi, apa yang dimaksud Adisti dengan semua saudara yang muncul dan menjagaku? Yang menjagaku ... apakah maksudnya Om Dika, Mas Agung, Aldo, Mbak Amel ... dan seterusnya? Kenapa dan bagaimana bisa mereka sedarah denganku? Aku betul-betul tidak mengerti.


Atau Adisti salah bicara? Apakah dia meracau? Sepertinya aku lebih condong menduga ke arah ini. Sikapnya tadi aneh sekali. Ini pertama kalinya ia berkata-kata begitu banyak denganku. Biasanya paling banyak ia hanya mengeluarkan lima atau enam kata ketika bicara denganku.


Pernah kulihat ia bicara jauh lebih banyak, yaitu saat bersama Arya dan Mas Angga. Mungkin karena mereka saudaranya. Mungkin Adisti memang sangat pemalu di depan orang lain yang bukan keluarga.


Kemudian, soal silet itu. Silet bernoda darah. Aku yakin, itu milik Adisti. Sepertinya benda itu terjatuh dari tas kecil di atas wastafel yang diambilnya terburu-buru.


Meskipun ingin, aku tidak dapat mengabaikannya. Kuambil tisu dan kubungkus rapat benda itu, lalu kukantongi di saku baju seragamku. Pikiranku terus melayang ke Adisti. Apakah dia menyakiti dirinya sendiri?


Aku teringat lagi pada cerita Mas Angga yang pernah mencoba menggunting jarinya. Sekarang Mas Angga sudah berhasil menertawakan dirinya sendiri. Kenapa aku tak ikut tertawa? Karena aku sendiri belum sampai di tahap itu.


Kuangkat tangan kiriku. Kupandangi bagian telapak dan pergelangannya. Masih terlihat bekas-bekas goresan di sana. Benar ... aku juga pernah mencoba menyakiti diriku sendiri. Kapan, ya? Kenapa aku tidak ingat?

Lihat selengkapnya