Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #23

Amarah dan Masa Lalu

"Marah memang jangan ditahan. Ya kan, Pa?" Mama berkata padaku, tetapi memandang ke arah Papa, meminta persetujuan.

 

Papa mengangguk. "Keluarkan, tapi dengan baik."

 

"Pingin mukul itu wajar, tapi pilih yang dipukul .. jangan mukul orang lain atau merusak benda. Pukul bantal, bola, atau kok aja kan enak."

 

"Atau alihkan dengan hobi. Bagus juga kalau hobinya olahraga yang pake bola, jadi energi marahnya ke situ. Sekalian, judulnya. Tapi sebenarnya hobi apa pun bagus. Apa aja boleh asal nggak merugikan orang."

 

"Kalo Dokter, hobinya apa Dok, yang efektif meredakan amarah?" tanya Mama sambil pura-pura menyodorkan mik imajiner dengan kepalan tangan kanannya ke bawah dagu Papa, pura-pura sedang mewawancarainya.

 

"Bersihin toilet," jawab Papa, yang langsung ditimpali tawa Mama dan aku sendiri, yang awalnya sebetulnya masih memasang muka cemberut. Menurut kami, Papa memang makhluk langka nan ajaib.

 

Dialog itu terjadi saat aku masih duduk di bangku SMP. Meskipun sehari-hari sudah terbiasa naik angkutan umum, hari itu aku dijemput Mama dan Papa dari sekolah. Keduanya dipanggil ke sekolahku karena aku menghajar beberapa anak laki-laki yang tak henti-hentinya mengolok-olokku.

 

Tampilan fisik teman-temanku itu sedikit kacau karena ada bagian wajah mereka yang terkena pukulanku, sementara aku tidak. Katanya mereka berusaha menjadi gentleman dengan tidak melakukan kekerasan pada perempuan. Pret. Memangnya yang disebut kekerasan itu hanya pemukulan? Bagaimana bisa disebut gentleman kalau hanya menahan diri dari main tangan, tetapi tetap gencar main kata-kata untuk melecehkan sesama manusia?

 

"Oke, kembali ke masalah Rea. Kenapa sampai memukul mereka karena olok-olokan itu?" Papa menanyaiku.

 

"Itu kan hinaan yang keterlaluan, Pa!" tukasku sengit.

 

"Ibunya Papa berdarah Cina Minang. Neneknya Papa dari Bapak juga Cina Medan. Betul memang, kita ada turunan Cina. Salahnya di mana?"

 

"Salah ngatainnya! Mereka bilangnya Cina penjajah!" semburku penuh emosi, mengulang cerita yang sebenarnya sudah didengar Mama dan Papa sebelumnya di kantor BK sekolahku. "Hanya karena nilai rata-rata kelas setengah dari nilai Rea! Di mana letak menjajahnya? Emang Rea nyuruh mereka tanem paksa? Ngambil hasil bumi? Ngambil hasil belajar mereka? Kan nggak nyambung!"

 

"Kurang ajar emang itu," imbuh Mama tiba-tiba, membuatku heran. "Tapi ingat, Re ... kurang ajar itu kurang diajar, bukan kurang dihajar. Mereka ngomong gitu karena kurang wawasan, entah belajar apa dari mana itu. Makanya, tadi Mama ajari itu mamak-mamak yang lain supaya bisa ngajari anaknya dengan betul."

 

Aku melongo sementara Papa tergelak. “Gawat ini mamak dan anak serupa temperamennya. Tolong, laaa … kalian kendalikan itu emosi baik-baik.”

 

“Aku baik, nya … kendalikan emosi tadi! Tak ada yang kutampar, kan? Semua kukasih kuliah gratis! Nah, itu, Rea, yang mau Mama bilang! Jangan sikit-sikit langsung hajar! Ajarilah dulu …”

 

“Udah, kok … Rea kasih pelajaran Sejarah dan Bahasa Indonesia sekaligus,” Aku membela diri.

Lihat selengkapnya