Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #24

Kenapa Harus Pulang?

Anak kupu-kupu diletakkan induknya begitu saja dalam bentuk telur di atas permukaan daun. Telur itu menetas sendiri tanpa dierami, lalu ulat yang keluar langsung dapat hidup dan mencari makannya sendiri. Sama sekali tak ada pengasuhan yang dilakukan kupu-kupu dewasa terhadap si ulat ini.

 

Kenapa manusia tidak dikaruniai bakat genetik seperti itu? Yang begitu lahir langsung mandiri? Bahkan lebih jauh lagi hingga delapan belas tahun kemudian, masih harus menjadi tanggung jawab orang dewasa?

 

“Turun di mana, Dek?”

 

Kuhentikan lamunanku, lalu memeriksa sekitarku. Mikrolet yang kutumpangi sudah nyaris kosong. Hanya tersisa aku dan sopirnya. Suasana sebaliknya kutemukan di luar mobil berkulit biru muda ini: jalan yang ramai oleh manusia dan berbagai jenis angkutan umum lainnya.

 

“Eh … di sini, Pak,” jawabku segera, meskipun dalam hati tidak yakin.

 

Sambil minta maaf, kubayarkan ongkos dengan tangan kiriku saat turun dari angkot ini. Lingkungan yang asing dan orang yang lalu lalang di sekitarku sempat membuat perasaanku ciut. Aku tertawa dalam hati. Begini saja takut, tetapi cemburu pada ulat dan kupu-kupu?

 

Aku berjalan menghampiri seorang ibu yang menjaga sebuah kios kecil dan bertanya padanya.

 

“Bu, maaf … kalau ke TPU Kemiri, naik apa ya?”

 

“M21 bisa,” jawab si ibu.

 

“Oh mikrolet, ya?” Aku bersyukur dalam hati, tak perlu memilih salah satu dari bus-bus besar yang berderet masuk ke terminal ini.

 

“Naiknya dari sana aja, Dek … ati-ati, ya,” Si ibu kios yang baik berkata lagi. Kutangkap pandangan simpatiknya ke arah penyangga lengan kananku. Setelah berterima kasih, aku bergegas melangkah ke arah yang ditunjukkannya.

 

Aku tidak memakai jam tangan, jadi tidak tahu persis, berapa lama waktu yang telah kuhabiskan hingga akhirnya tiba di TPU¹. Bukan pertama kalinya aku ke sini, tetapi cara mencapainya selalu berbeda-beda. Ini destinasi pertamaku begitu tiba di Jakarta bersama Om Dika dan Mas Agung dulu, untuk menyaksikan pemakaman Mama dan Papa. Waktu itu, kami naik taksi langsung ke sini dari bandara Soekarno-Hatta.

 

Aku tak begitu ingat apa yang terjadi di pemakaman (kata Aldo, aku pingsan) dan bagaimana aku pergi meninggalkannya. Namun, aku ingat berkali-kali datang lagi ke sini bersama Om Dika, naik mobil pribadinya. Dibandingkan dengan sekolahku sekarang, sebenarnya tempat ini jauh lebih terjangkau dari rumah Om Dika, meskipun tidak terlalu dekat juga. Mungkin karena itu (selain tentunya berkat bantuan sopir bajaj atau tukang ojek), tak sulit juga bagiku untuk mencapainya sendiri selama ini.

 

“Assalamualaikum …” ucapku lirih begitu sampai di area makam Mama dan Papa dan berdiri di antara dua nisannya. Rasa tak nyaman tiba-tiba menyergap dadaku dan kembali mendesak ke atas. Sesaat kemudian, pandanganku kabur karena air mata yang menggenang di mataku.

 

Astaga. Setelah bertahun-tahun tak pernah melakukannya, bagaimana bisa hari ini aku menangis dua kali?

 

Kesibukanku mengucurkan air mata membuatku tak bisa mengeluarkan kata apa pun di hadapan makam Mama. Padahal, seharian tadi, sejak masih di sekolah hingga di dalam angkutan umum, berkali-kali aku sudah membayangkan akan memuntahkan kata-kata apa saja pada Mama.

 

Betul juga. Walaupun jasadnya dikubur, bukan berarti orang yang wafat tinggal di bawah nisannya. Hanya ada tubuh Mama dan Papa di sana, itu pun entah sudah dalam kondisi yang seperti apa. Sudah sejauh mana kerja para bakteri pengurai di bawah tanah ini? Sementara itu, rohnya akan ada di alam barzakh … begitu kata guru mengajiku dulu. Katanya, di sana, orang-orang yang sudah meninggal dapat melihat dunia maupun akhirat. Aku baru ingat lagi tentang ini. Apakah sejak tadi Mama dan Papa melihat kekacauan yang kualami? Apakah mungkin mereka juga mendengar semua ungkapan marah yang baru kuujarkan dalam hati?

 

Kalau begitu, berarti aku tak harus mengucapkannya lagi keras-keras di sini. Mama tahu kan, aku semarah apa? Apa yang tak dapat kuterima? Papa juga … kenapa hanya sibuk mengajarkanku hidup sehat, tetapi tak pernah mengajakku belajar dan bersiap atas kemungkinan akhir hidup yang seperti ini?

 

Kenapa baik Mama maupun Papa yakin sekali kita semua akan bahagia hidup lama bersama-sama? Kenapa sebelumnya tak ada yang mengingatkanku bahwa umur adalah rahasia dan kuasa mutlak Sang Maha Pemilik Hidup? Bahwa sesehat apa pun, sehebat apa pun kita menjaga hidup, tetap takkan dapat menebak kapan dan bagaimana akhirnya?

 

“Rea.”

 

Aku mengangkat wajahku yang sejak tadi menunduk memandangi tanah kuburan Mama. Sosok yang tak asing belakangan ini sudah berdiri di sampingku: Mas Angga.

 

Dengan napas yang tersengal-sengal, Mas Angga mengambil posisi jongkok di sebelahku. Rasanya seperti déjà vu. Sepertinya kami sudah pernah memainkan adegan ini sebelumnya.

 

Lihat selengkapnya