Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #25

Di Jalanan Malam Ibukota

"Masnya ayam atau bebek?"


"Ya Allah … punya cermin, nggak, Bu?"


"Emang buat apa, Mas?"


"Mau pinjem dulu, Bu. Tadi terakhir ngaca di rumah, saya masih orang. Apa sekarang udah beda bentuknya?"


Aku tidak bisa tidak tertawa menyaksikan dialog antara Mas Angga dan ibu pedagang di warung tenda ini. Awalnya sempat berusaha kutahan, tetapi akhirnya tawa itu terbebas karena dialog mereka masih diteruskan.


Si ibu yang sudah tertawa duluan susah payah melanjutkan pelayanannya, "Maksudnya pesenannya, Mas … mau ayam atau bebek?"


"Ooh bilang gitu, dong, Bu … kan saya takut … kirain udah berubah jadi unggas," kata Mas Angga sembari nyengir lebar. "Ya udah pesen ayam deh, Bu."


"Oh, sama dengan Mbaknya tadi, ya." kata si ibu, sekilas tersenyum padaku, lalu berpaling ke Mas Angg lagi. "Digoreng apa dibakar, Mas?"


"Bakar, deh, Bu."


"Mbaknya, mau dibakar juga?"


"Astaghfirullah! Emang Ibu Raja Namrud? Jangan, Bu!" Mas Angga berseru sambil merentangkan tangannya lebar-lebar di depanku, menghalangi pandanganku ke si ibu warung, sebelum aku mulai membuka mulut. 


Pertahananku runtuh. Aku tertawa. Si ibu warung pun mengikik lebih lama dariku. Bahunya masih terus terguncang-guncang bahkan setelah bergerak menjauh untuk mulai menyiapkan pesanan kami. 


Kurasa inilah mengapa Mas Angga begitu terkenal di sekolah kami, padahal ia bukan pengurus OSIS, ketua ekskul, juara umum, atau pemenang suatu kompetisi sekolah (sejauh ini belum ada lomba melucu). Dia tak sungkan untuk bercanda dengan siapa pun, bahkan dengan orang yang belum dikenalnya. Selain itu, sepertinya dia sangat lihai mencari kesempatan untuk mengobrol lebih banyak dengan orang lain, seperti yang dia lakukan sekarang.


Begitu aku berkata tak ingin pulang ke rumah Om Dika saat kami akan meninggalkan TPU tadi, Mas Angga tidak langsung mendebat ucapanku. Ia malah mengeluh lapar, menanyaiku apakah sudah salat dan makan (yang tak bisa kujawab dengan tidak jujur karena perutku berbunyi saat itu juga), lalu mengajakku makan setelah mampir ke musala terdekat.


Setelah lewat waktu Maghrib, kami berjalan kaki ke warung tenda yang tak begitu jauh. Dalam perjalanan, Mas Angga sibuk merangkum hal yang terjadi setelah aku tidak menemui Aldo yang menungguku di gerbang depan sekolah. Rupanya Aldo yang menanyai semua teman sekelasku. Ia berpikir aku sudah pulang duluan dan panik begitu ternyata tidak mendapatiku di rumah sehingga menelepon ke mana-mana termasuk ke rumah Adisti, Arya, dan Mas Angga. Kemudian, berdasarkan pengalamannya dulu menemukanku yang sudah pernah menghilang juga, Mas Angga pun mengajukan diri untuk mencariku ke TPU. Bedanya, kali ia naik ojek karena sepeda motornya mogok.


"Udah Bun, tapi kami mampir makan dulu … Iya … di warung ayam bakar .. oke, Bun … walaikumsalam," ujar Mas Angga dengan ponsel ditempelkan ke telinganya. 


"Itu … HP Tante Rina?" tanyaku setelah Mas Angga mengakhiri panggilan teleponnya. Aku mengenali benda yang sering dibawa-bawa Tante Rina itu. Selain itu, sampai tadi pagi, setahuku Mas Angga belum punya ponsel.


Mas Angga mengangguk. "Dipinjemin, suruh bawa tadi sebelum berangkat cari lo. Jadi semua udah pada tau, lo sama gue di sini. Gue ngabarin ke rumah tadi begitu dari jauh udah liat lo di makam. Trus Bunda ngabarin yang lain."

Lihat selengkapnya