Kejadian itu berlangsung begitu cepat dalam gelap. Aku tak tahu persis apa yang terjadi. Entah bagaimana, isi tasku jatuh berserakan di aspal, lalu tangan kiriku ditarik kuat, badanku mengikuti arah tarikan itu, dan tiba-tiba saja aku sudah di tengah jalan raya. Aku dan Mas Angga, tepatnya. Betul, kami berdua ... ada di tengah jalan raya.
Mas Angga membentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke arah kendaraan yang melaju ke arah kami. Aku memicingkan mata karena silau akan cahaya lampu kendaraan yang menyoroti kami langsung (juga karena takut, sebetulnya, membayangkan entah apa yang akan menerjang kami dalam sekejap).
Kendaraan itu berhenti kira-kira dua meter di depan kami, tepat sebelum jantungku menggelinding (dalam bayanganku, tentu). Ternyata sebuah bajaj. Mas Angga menggamit pergelangan tangan kiriku lagi, menarikku agar masuk ke bajaj itu..
"Ke klinik terdekat, Pak," kata Mas Angga begitu kami sudah ada di dalam bajaj.
Aku memandang Mas Angga dengan ngeri. Tangan kanannya mencengkeram tengkuknya sendiri. Kulihat darah mengalir deras dari tengkuk hingga baju kaus yang dipakainya. Ia meringis saat menoleh ke arahku.
"Lo ga papa?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat, lalu membantu menekan tangannya yang menempel di tengkuk.
"Tas lo sobek? Ada barang berharga?" Mas Angga bertanya lagi.
Aku melihat sekilas ke arah tasku yang sudah kempes. Ada robekan panjang di dasarnya. Teringat olehku isinya yang tiba-tiba jatuh berserakan di pinggir jalan tadi, sesaat sebelum Mas Angga menarikku ke tengah jalan.
Kugelengkan kepalaku cepat-cepat. Apa yang berharga? Buku? Kotak pensil? Dompet dengan beberapa lembar dua puluh ribuan? Tidak ada yang menandingi harga sebuah nyawa manusia.
Tiba di klinik yang dituju, kami langsung menuju meja suster, melewati antrean pasien lainnya yang tiba-tiba seperti disuguhi iklan film horor: orang yang berjalan cepat dengan darah mengalir deras dan membasahi pakaiannya.
Perawat langsung mendahulukan penanganan luka Mas Angga, sementara petugas lainnya bertanya padaku tentang data-data kami (nama orang tua, alamat, dan nomor telepon).
"Rea nggak papa?" tanya Tante Rina begitu ia sampai di klinik dan jadi yang pertama bertemu denganku. Kulihat Om Dika menyusul di belakangnya.
Aku mengangguk tanpa menatap Tante Rina. Anaknya terluka parah karena menjemputku. Jika bukan gara-gara aku, Mas Angga takkan ada di jalanan tadi malam-malam.
"Mas Angga di toi …"
"Cepet amat Bun, Pakde …" potomg Mas Angga yang sudah muncul di dekat kami. "Tenang, tertangani dengan baik. Alhamdulillah, cuma dua puluh jahitan. Masih dua mili lagi jaraknya dari urat nadi."
"Udah, jangan banyak ngomong dulu. Nanti Rea aja yang cerita," Om Dika menanggapi sambil memicingkan mata melihat kepala Mas Angga yang seakan sedang memakai helm putih. Helm perban, maksudnya.
Entah tak mendengar dengan baik atau memang tak mau menuruti perintah Om Dika untuk tak banyak bicara itu, Mas Angga masih terus mencerocos, "Jangan syok sama perbannya yang seheboh ini, ya. Lukanya di leher doang, kok, bukan seluruh kepala. Ini cuma bonus, sekalian bungkus seluruh kepala supaya otaknya nggak jatuh. Baik banget susternya, entah tahu dari mana dia, Angga mau UMPTN¹ tahun depan."
Kami bertiga tertawa. Bukan Mas Angga namanya kalau tak mencairkan suasana setiap saat.
"Pakde yang bawa mobil? Kita ke rumah Pakde dulu, ya, ambil barang-barang Rea? Katanya Rea mau nginep di kami dulu sementara," kata Mas Angga lagi, membuatku terkejut, mungkin sama kagetnya dengan Om Dika ataupun Tante Rina yang baru pertama kali mendengarnya.
Dalam situasi seperti ini, bisa-bisanya ia masih ingat pada permintaanku tadi?
"Eh, nggak jadi, Mas. Aku pulang aja ke rumah," sambarku segera. Aku tak boleh lebih merepotkan lagi.