Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #27

Berdamai

Oktober 2001


Aku menyerahkan buku tebal bersampul cokelat itu dengan setengah hati ke tangan Om Dika. Ada rasa tidak ikhlas, tetapi aku tak punya pilihan lain. Ucapan Om Dika benar semua. Aku tak punya argumen untuk membantahnya.


"Kalau Om nggak di rumah, tetap taro di sini, ya … tiap jam sembilan," tegas Om Dika seraya menunjuk ke meja telepon di dekat kami.


"Ya, Om," gumamku.


Sudah beberapa hari aku bergadang. Kali ini aku betul-betul sadar melakukannya karena terlalu bersemangat menghabiskan waktu dengan "sahabat baru"ku: buku harian Mama.


Aku tidak pernah tahu Mama juga menulis diari. Hampir setahun terakhir, setiap hari Mama menulis panjang, menuangkan beragam pikiran dan perasaannya. Aku makin merasakan kemiripannya denganku dan membayangkan seolah-olah tulisan Mama itu tulisanku di masa depan, kalau wawasanku sudah seluas Mama.


Sama sepertiku, Mama memikirkan hampir setiap hal yang dilihat, didengar, atau dialaminya. Betul juga. Melihat banyaknya yamg ditulis Mama setiap hari, aku baru menyadari, betapa sibuk dan bisingnya pikiran kami selama ini.


Aku jadi paham maksud Om Dika saat berkata bahwa menulis buku harian makin menyembuhkan Mama. Muatan yang selama ini bersengkarut di kepalanya sepertinya lebih mudah terurai. Selain itu, mungkin ini tak ubahnya seperti membuang sampah saja. Tak semua hal perlu disimpan lama-lama di dalam otak.


Sejauh ini, dari puluhan halaman yang sudah kubaca, aku mendapatkan banyak hal. Sekarang aku paham mengapa sangat sulit bagi Mama untuk menjawab pertanyaanku tentang keluarga besar. Ternyata sebenarnya berkali-kali Mama ingin menceritakan semuanya padaku, tetapi terus menerus gagal karena terhalang dirinya sendiri.


Di dalam diarinya, Mama menulis tentang protesnya atas diskriminasi suku, agama, ras, atau golongan tertentu yang banyak ditemukan di negara yang seharusnya menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini. Tentang tekad Mama untuk membuktikan bahwa siapa pun manusia yang terlahir ke dunia ini seharusnya punya kesempatan dan peluang kemungkinan yang sama untuk menjadi apa pun atau melakukan apa pun. Tentang impian Mama pada dunia yang lebih mengutamakan kerja sama daripada persaingan.


Kata Mama, terlahir berbakat dengan kecerdasan di atas rata-rata dan berasal dari keluarga terpandang dan sangat berkecukupan sebenarnya lebih banyak membuatnya takut daripada santai. Ini beban yang besar, menurutnya.


Mama mengibaratkan dirinya dan orang yang di dunia ini sekilas tampak kurang beruntung hidupnya (karena tak terlahir pintar atau kaya) sedang menempuh perjalanan panjang. Namun, di garis start, mereka diberi modal yang berbeda. Sementara Mama membawa lima puluh modal, misalnya, orang di sampingnya hanya diberi dua puluh. Apa yang terjadi jika di garis finish, Mama "mengembalikan modal" hanya sebanyak tujuh puluh dan orang bermodal dua puluh tadi mampu mengembalikan enam puluh atau bahkan sama dengan Mama? Mana yang benar-benar telah berjuang keras dan lebih layak diapresiasi Sang Pemberi Kehidupan?


"With great power, comes great responsibility," tulis Mama.


Setiap orang punya tanggung jawab yang berbeda-beda, sesuai dengan bekal yang diberikan padanya. Mama meyakini ini. Ia sangat takut tidak dapat mengembalikan seratus dari modal yang begitu besar dititipkan padanya. Ketakutan yang sama Mama rasakan setiap melihatku yang terasa mirip dengannya, mewarisi bekal yang kurang lebih sama. Kami tak boleh bersantai dengan semua kelebihan ini.


Mengapa kita mengkhawatirkan perbedaan? Mengapa bekal yang berlebih membuat kita makin takut kehilangan? Bukankah daripada mencemaskan titipan yang diambil kembali oleh Sang Mahakaya, kita harus lebih mencemaskan seberapa maksimal kita dapat mengembalikannya?


Keyakinan Mama begitu kuat hingga membuatnya berselisih dengan Eyang dan Pakde. Semua pihak merasa paling benar, tidak ada yang mau mengalah. Selanjutnya, seperti kata Om Dika, masalahnya berlarut-larut karena juga melibatkan banyak "keterlaluan": terlalu sayang, terlalu bangga, terlalu marah, terlalu gengsi. Andai kata "terlalu" tidak dipakai, sebenarnya semua itu masih ada baiknya.


Aku sangat senang waktu mulai membaca cerita Mama tentang niatnya untuk berbaikan dengan Eyang dan Pakde. Mama juga menceritakan bagaimana Om Dika selalu berusaha menjadi penengah di antara mereka. Berkali-kali aku jadi merasa ingin memeluk Om Dika. Ternyata perannya begitu besar sejak dahulu.


Kalau dipikir-pikir, hak Om Dika untuk berduka karena kehilangan Mama seharusnya sama besarnya denganku. Aku anak yang pernah tumbuh dalam rahim Mama, sementara Om Dika pernah tumbuh bersama-sama dengan Mama dalam satu rahim. Selain itu, sama sepertiku, Om Dika tidak pernah benar-benar berpisah dengan Mama. Sejauh apa pun jarak kota tempat tinggal mereka, seregang apa pun hubungan Mama dengan seluruh keluarga besar, Om Dika tak pernah benar-benar menjauh dari Mama. Tanpa aturan negara pun, ia sangat layak menjadi orang tua pengganti bagiku.


"Sebagai orang tua, menyisakan rasa nggak percaya pada Rea adalah tugas Om."


Kok? Dahiku otomatis berkerut mendengar kata-kata Om Dika.


"Rea sendiri juga .. di umur sekarang, jangan terlalu percaya sama diri sendiri! Katanya ubun-ubun anak di bawah delapan belas tahun itu belum benar-benar nutup. Nah, ini yang bikin remaja tuh suka salah. Dalam pikiran udah kepingin bener, kenyataannya tetep terus melakukan kesalahan. Karena itulah kalian masih butuh pengawasan orang tua."

Lihat selengkapnya