Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #28

Cerita Adit

"Rea! Lo abis ngapain?"


"Ngapain? Abis dari kelas, kan? Kan kita bareng tadi?"


"Bukan! Sebelum itu? Kemaren-kemaren? Lo bikin masalah nggak, sama anak kelas tiga?"


"Ha? Masalah apa?"


"Ya makanya gue tanya! Itu lo dicari Kak Adit! Tau ga lo? Ketua OSIS!"


Adit tidak memiliki pendengaran yang super, tetapi tentu saja ia dapat mendengar semua percakapan yang berlangsung tak jauh darinya dan tak dilakukan dengan berbisik-bisik itu. Anak-anak yang bicara itu sedang duduk mengelilingi meja kantin terluar, sementara ia berdiri di koridor yang mengarah ke kantin. Jarak mereka mungkin tak sampai dua puluh meter. Salah tingkah, Adit membalikkan badannya. Ia merasa lebih baik pura-pura tidak mendengar.  


"Mas ... eh, Kak Adit? Cari aku?"


Adit menoleh. Adik kelas yang sekaligus merupakan sepupu langsungnya itu sudah berdiri di sisi kanannya. Mereka saling menatap.


Adit mengangguk, lalu menunjuk ke arah panggung luas yang terbentang di pinggir lapangan upacara sekolah. "Duduk di sana aja, ya."


Mata Aurea yang agak sipit terlihat membesar seketika. "Panggung? Bukannya itu area kelas tiga?"


"Ya kan ada gue," kata Adit.


"Di sana boleh makan? Aku belum selesai." Aurea bertanya seraya mengangkat kotak bekalnya dengan dua tangan.


Alis Adit terangkat sesaat sebelum ia mengangguk. Kemudian, selagi memimpin langkah menuju area yang mereka sepakati, ia mengungkapkan rasa penasarannya, "Kok makan bekel di kantin?"


"Nggak dilarang, kan? Butuh ruang terbuka dan perubahan suasana." 


"Udah di kantin, kenapa nggak jajan aja? Kenapa bawa bekel?"


Aurea menoleh ke arah Adit dan memberikan tatapan heran, seolah ia baru saja menanyakan hasil penjumlahan satu ditambah satu. Setelah beberapa detik, akhirnya gadis itu menyahut, "Jauh lebih hemat, kan? Dan lebih sehat, pastinya."


Adit teringat pada pembicaraan di pertemuan keluarga terakhir. Mendiang Mama dan Papa Aurea, yang berarti om dan tantenya, rupanya selama ini diam-diam menjadi salah satu donatur terbesar sekolah ini. Ini berarti logikanya, mereka pasti berkelimpahan harta. Akan tetapi, kenapa fakta ini terdengar tak sesuai dengan ucapan Aurea tadi?


Bawa bekal agar hemat, katanya? Apakah anak ini masih tidak tahu orang tuanya sekaya apa? Atau ia memang sangat terbiasa jauh dari gaya hidup yang mewah?


Cerdas, cantik, baik hati, kaya raya. Ternyata memang ada makhluk di bumi yang hidup dengan atribut selengkap ini. Apa tidak ada kekurangannya? Punya banyak musuh karena banyak yang iri dan dengki? Atau jangan-jangan itu pun tak ada, sementara kesibukan ia sendiri mencari-cari kekurangannya saat ini adalah pertanda ia tak sanggup menerima kesempurnaan itu?


Sekarang Adit paham mengapa adiknya yang sudah kurang percaya diri sejak dahulu makin merasa insecure dengan kehadiran Aurea. Kata siapa dunia ini adil?


"Adisti gimana kabarnya, Kak?" tanya Aurea begitu mereka duduk di salah satu sisi panggung yang menghadap ke arah lapangan basket.


"Yah, terus berproses … menuju kondisi yang lebih sehat."


"Pakde Abi udah cerita, selain Tante Rina, ada psikiater yang bantu juga, ya. Semoga semua lancar dan dia bisa cepet sekolah lagi."

Lihat selengkapnya