Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #29

Tentang Luka

November 2001


"Saat ada luka baru, pembuluh darah kita menyempit. Akan terjadi pembekuan darah sehingga kita tidak kehilangan banyak darah. Kemudian, darah akan mengalir kembali untuk menyalurkan oksigen dan nutrisi pada jaringan yang rusak sehingga luka terasa membengkak. Jaringan kulit baru akan terbentuk menggantikan jaringan yang rusak hingga nantinya bekas luka akan tertutup oleh lapisan yang lebih keras daripada permukaan kulit lainnya. Seiring dengan waktu berjalan, bekas luka ini akan melentur dan kembali menyerupai bagian kulit lainnya."


Aku masih ingat, dahulu Papa pernah memberi penjelasan panjang lebar seperti itu tentang luka.


Waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka berbeda-beda, tergantung jenis lukanya. Luka gores yang sering dialami Mama (ada yang ibunya sama tak terampilnya dengan ibuku di dapur?) biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari. Akan tetapi, luka tusukan besar seperti yang didapat Mas Angga di tengkuknya beberapa minggu yang lalu mungkin butuh waktu berbulan-bulan. Nah, bagaimana dengan luka duka?


Aku jelas terluka. Lukanya sangat besar dan luar biasa sakit, sampai aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya (selain memang aku tak bisa menggambar, dalam arti yang sebenarnya). Kata Papa, proses penyembuhan luka yang ia ajarkan padaku di atas berlaku macam-macam luka. Mulai dari luka terbeset cutter hingga luka operasi besar. Namun, bagaimana dengan jenis luka yang kualami ini? Luka duka karena kehilangan Mama dan Papa?


Apa yang sedang terjadi pada lukaku saat ini? Yang kuyakin, luka itu belum menutup. Apakah sedang membengkak? Atau bahkan pendarahannya belum berhenti? Aku tak tahu. Yang kuyakin, sakitnya tidak berkurang. Betul. Tidak berkurang. Sa-ma-se-ka-li.


Atau mungkin justru lebih buruk. Kalau diingat-ingat lagi, sepertinya apa yang kurasakan saat pertama kali mendengar kabar bahwa Papa dan Mama meninggal bahkan lebih tidak menyakitkan daripada yang kurasakan setiap hari sampai sekarang. Sepertinya bahkan waktu itu aku masih tertawa dalam hati karena yakin Om Dika membawa kabar dusta. Pemakaman dan surat keterangan kematian dari rumah sakit tetap tak dapat membuatku percaya. 


Mama Papa yang tadinya baik-baik saja dan selalu ada di sekitarku, masa tiba-tiba menjadi tidak ada dan tidak akan pernah kulihat lagi sampai kapan pun? Aneh, bukan? Bisakah kau membayangkannya? Siapa sih, yang bisa percaya mendengar hal seperti itu?


Setelah itu, aku benar-benar merasakannya. Setiap bangun dari tidurku, aku tak lagi pernah menemukan Mama atau Papa. Tak ada sosok mereka di mana-mana yang dapat terlihat oleh mataku, sementara rekaman gambar dan suara mereka hampir setiap waktu diputar dalam kepalaku. Adegan Papa mengupas buah di pagi hari. Adegan Mama menyiram tanaman di halaman depan rumah. Adegan Papa menanyai apa saja yang kumakan pada siang hari. Adegan Mama yang mewawancaraiku tentang cowok-cowok keren di sekolah. Dan masih ada banyak lagi, puluhan atau bahkan ratusan adegan lainnya. Dadaku seolah tertusuk berkali-kali setiap menyaksikan semua adegan itu dalam kepalaku sementara pada kenyataannya, mata dan telingaku tak benar-benar menonton dan menyimaknya. 


Mama dan Papa benar-benar tidak ada. Ini benar-benar kenyataan. Bukan mimpi buruk yang dapat kutinggalkan begitu aku terjaga dari tidurku. Aku tahu. Aku sadar sepenuhnya. Aku paham akan semua yang terjadi. Namun, sepertinya tahu, sadar, atau paham itu bukan jalan menuju kesembuhan. 


Aku masih merasakan sakit yang luar biasa. Rasanya tidak lebih ringan seiring waktu. Ibarat luka, jangankan membuat jaringan kulit baru, aku bahkan tak yakin apakah pendarahan awalnya sudah berhenti. Akankah suatu saat nanti aku mati kehabisan darah jika seperti ini terus menerus?


Di sekolah, aku sudah jarang "sapu bersih" soal-soal ujian seperti dahulu, waktu Mama dan Papa masih ada. Jangankan sempurna, kemarin bahkan aku hanya mendapat nilai 50 untuk ulangan salah satu pelajaran favoritku: Matematika. Beberapa hari sebelumnya juga nilai ulangan Fisika tak jauh berbeda. 


Bukan pelajarannya yang menjadi jauh lebih susah atau gurunya yang tak mengajarkan dengan baik (kuperhatikan guru-guru di TC jauh lebih sibuk membimbing murid-muridnya daripada guru-guruku di sekolah-sekolah sebelumnya, yang masuk hanya untuk memberi soal dan membiarkan semua murid belajar sendiri). Bukan pula kini aku sulit memahami apa yang kupelajari. Aku masih tak punya masalah dalam belajar. Satu-satunya masalahku sekarang adalah sering tertidur saat ulangan berlangsung, setelah baru setengah jalan kukerjakan soal-soalnya.


Lihat selengkapnya