Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #30

Proses Berduka

Aku tahu, kata-kata Om Dika benar. Sementara urusan Mama dan Papa di dunia ini sudah selesai, aku belum. Aku masih harus melanjutkan hidup. 


Sebetulnya, sempat terpikir olehku … kenapa harus begitu? Kenapa aku masih harus terus hidup tanpa mereka? Ada lubang besar yang kurasakan setiap harinya. Sampai berapa lama lagi aku harus hidup begini?


Sekarang sepertinya aku menjadi lebih paham tentang kasus orang yang melakukan bunuh diri. Tak tahan dengan berbagai tekanan hidup. Tak tahan lagi dengan hidup yang jadi terasa begitu menyiksa. Kemudian, muncul pikiran untuk mengakhiri semuanya, yakin sekali bahwa hanya ada kedamaian dan kebahagiaan setelah mati.


Aku dekat sekali dengan pemikiran itu. Perih dan hampa (aku tak pernah tahu sebelumnya, dua hal ini dapat dirasakan bersamaan) yang tak tertahankan juga terkadang menuntunku pada ide untuk mengakhiri hidup. Satu-satunya yang menghalangiku adalah kepercayaanku.


Hidup dan mati itu milik Tuhan. Apa yang terjadi saat aku melanggar aturan itu? Bukannya bertemu dan hidup bahagia lagi bersama Mama dan Papa di akhirat nanti (mereka orang baik, aku amat berharap Tuhan memasukkan mereka ke surga), aku malah terlempar sendirian ke neraka yang betul-betul abadi karena Tuhan murka padaku.


Jadi, aku tak mau mengakhiri hidupku. Namun aku juga merasa tak dapat hidup dengan baik. Hidup segan, mati tak mau. Apa aku sudah mirip seperti roh yang gentayangan yang mati segan, hidup lagi tak mampu?


“Ada satu kesamaan di antara kita semua, di keluarga besar ini,” kata Tante Rina hari Minggu kemarin, saat mendatangiku yang hanya tidur-tiduran di kasur seharian. “Hampir semua mengalami kehilangan seseorang yang teramat berharga. Mulai dari Eyang Kakung sampai Aldo. Semua berduka. Bahkan Adit, yang dulu sudah kehilangan ibunya sesaat setelah melahirkannya."


"Bayi bisa berduka?" tanyaku sambil memainkan tali sarung gulingku. "Kan dia belum punya ingatan ngobrol, bercanda, pergi bareng, atau ngapa-ngapain sama orang tuanya."


"Tapi bukan berarti dia nggak inget apa-apa. Gimana dengan irama detak jantung ibunya yang biasanya dia dengar selama dalam rahim? Bayi lain kalau menangis akan lebih tentram mendengar dan merasakan detak jantung ibu yang menggendongnya. Adit enggak. Rewelnya hampir nggak bisa ditenangkan sepanjang hari. Itu, dia lagi berduka. Dia nyariin ibunya terus menerus."


Kata nyari ibunya itu membuatku tenggorokanku tercekat (untuk entah keberapa kalinya, entah sejak kapan aku jadi jauh lebih cengeng daripada dulu). Aku sudah bukan bayi, tapi juga masih mencari ibuku. Siapa sih, yang tidak butuh ibu? 


Oh .. apakah orang dewasa sudah tak membutuhkan orang tuanya? Karena itu, dulu Mama berani pergi meninggalkan Eyang? Mama tak pernah rindu Eyang? Apakah suatu saat nanti aku juga akan begitu? Melupakan Mama dan Papa?


Apakah ini akan lebih ringan seandainya aku tak punya banyak kenangan seperti halnya Adit yang piatu sejak bayi? Seandainya Mama dan Papa tak pernah kukenal sejak aku lahi … tidak, tidak. Aku juga tidak mau begitu. Mama dan Papa adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Aku tak mau kehilangan setiap kenangan bersama mereka. Yang kumau hanya menghilangkan sedih dan sakit setiap mengingatnya. 


Aku hanya mau bagian manisnya, tak mau pahitnya. Apa tidak bisa begitu, Tuhan? Bukankah saat makan buah, aku juga boleh hanya makan dagingnya yang manis dan membuang kulitnya yang pahit? 


"Aku kayak jalan di tempat. Atau muter-muter terus," kataku pada Tante Rina. "Udah lima bulan sejak Mama Papa nggak ada, tapi aku nggak bisa ngelupain semuanya … sakitnya … kayaknya nggak pernah berkurang sedikit pun."

Lihat selengkapnya