Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #31

Cerita Arma

Desember 2001


Bagi Arma, lebaran tidak hanya identik dengan ketupat, opor ayam, rendang, sayur labu, dan krecek, tetapi juga dim sum, yakiniku, nasi briyani, sampai lasagna. Seolah-olah ini adalah ajang pameran memasak makanan khas dari seluruh penjuru dunia bagi semua keluarga kecil yang berkumpul di rumah Eyang Alif.


Arma tahu, Eyang Alif bukan eyang kakungnya langsung, melainkan kakak kandung dari eyang putrinya. Namun, sejak dulu, rumah Eyang Alif inilah yang disebutnya sebagai rumah Eyang. Eyang kakungnya sendiri sudah wafat sebelum ia lahir dan sejak itu, eyang putrinya tinggal bersama mama dan papanya. 


Arma selalu senang berkunjung ke rumah Eyang Alif. Karena masih sama-sama di Jakarta, tidak perlu menunggu lebaran untuk pergi ke sana. Seluruh keluarga besar Eyang Alif biasa berkumpul dua bulan sekali. Belakangan ini bahkan mereka bertemu setiap bulan.  


Meskipun begitu, lebaran tetap menjadi momen paling istimewa. Hidangannya jelas jauh lebih banyak dan beraneka rupa. Jarang pula ada yang berhalangan untuk datang berkumpul saat lebaran. Selain itu, mereka akan menghabiskan waktu bersama-sama di rumah ini jauh lebih lama: sejak waktu sarapan setelah salat id hingga selesai makan malam setelah salat isya. 


Di rumah, Arma sudah diberi tahu Papa, nanti di rumah Eyang Alif akan ada kakak baru yang belum pernah dikenalnya. Namanya Aurea. Arma akan memanggilnya Mbak Rea, singkatan dari Aurea. Mbak Rea ini adalah mindoannya, sama seperti Mas Adit, Mbak Adisti, Mas Agung, Mas Aldo, Mbak Amel, dan Mas Arya. Ini berati, sama seperti yang lain, orang tua Mbak Aurea dan papa Arma bersepupu langsung. 


Arma sendiri belum punya sepupu langsung. Tante Afifah, adik Papa satu-satunya, baru akan menikah bulan depan. Kabar baiknya lagi, nanti Tante Afifah akan tinggal di Jakarta juga setelah berkeluarga. Semoga saja Arma dan Arka, adiknya yang sekarang masih bayi, kelak dapat bermain dengan sepupu-sepupu mereka dari Tante Afifah. Arma sudah membayangkan, nanti sebagai yang tertua, ia yang akan mengajari adik-adiknya bermain.


Sekarang, ia belajar bermain dulu dengan kakak-kakak yang sudah jauh lebih besar darinya. Permainan favorit yang ditunggu-tunggunya adalah kartu kuartet, ludo, ular tangga, hingga tebak-tebakan yang biasanya dimainkan sambil menunggu waktu salat zuhur berjamaah dan makan siang bersama.


“Udah yuk, main ludonya. Mau tebak-tebakan aja sekarang,” pinta Arma pada kakak-kakak yang bermain bersamanya siang itu: Mas Arya, Mas Angga, dan Mbak Rea. 


“Oke, yang duluan yang menang tadi?” kata Mas Arya.


Arma memasang muka cemberut. “Arma jadi terakhir, dong …”


“Tukeran sama aku aja, mau? Aku kan kedua tadi,” tawar Mbak Rea. 


“Mau! Asik, Mbak Rea baik! Makasih, Mbak!” Arma berseru semangat. “Oke, jadi Arma mulai ya, tebak-tebakannya …”


“Yang kedua, hey, Mbak Rea itu kedua! Yang pertama tetep Mas Arya, dong, gadis keciiil …” sambar Arya sambil menyodok pelan pipi Arma.


“O iya. Ya udah, Mas Arya duluan. Tapi jangan susah-susah, ya!”


“Enggak, kok. Tebak-tebakan hewan, nih. Hewan, hewan apa yang bisa segala rupa? Hayoo ...”


“Kucing?” tebak Arma. “Bisa makan, mandi, pipis, pup sendiri? Eh, tapi semua hewan juga bisa ya …”


“Orang utan?” Mbak Rea menebak. “Yang paling mirip manusia, kan …”


“Bukaan … ayo, nyerah, nyerah?”


“Kukang,” sambar Mas Angga. “Eh, Arma tau kukang, nggak?”


“Tau, dong. Tapi kok kukang jawabannya?” 


“Iya … pasti tadi maksudnya Mas Arya itu kukang listrik, kukang bangunan, kukang tambal ban … ya nggak?” Mas Angga berpaling ke Mas Arya.


Mas Arya tertawa. “Ah, nggak seru kalo tebak-tebakan sama Mas Angga. Kerjaannya baca buku tebak-tebakan apa gimana, Mas?”


“Enggak … cuma pernah ketelen beberapa halaman.”


Mata Arma yang sudah besar tampak makin besar. “Gimana caranya itu?”


Mbak Rea memelototi Mas Angga. “Liat-liat kalo becanda! Dianggap serius sama anak kecil!”


“Iya, Arma. Itu tadi Mas Angga becanda, yaa. Kalo mau pinter tebak-tebakan, sekolah aja yang rajin!” kata Mas Angga lurus-lurus pada Arma, diiringi suara dengusan keras dari yang lain.


“Ya udah, sekarang Arma, ya!” seru Arma semangat. “Ini Arma baru dapet kemaren .. Gini … orang meninggal kan kalo laki-laki disebut almarhum, kalo perempuan disebut almarhumah, nah … kalo banci disebut apa?”

Lihat selengkapnya