Keluarga Aurea

Heidyanne R. Kaeni
Chapter #32

Terbiasa dan Sanggup

Agustus 2021


"Iya, saya percaya, Ibu selalu jaga makan banget. Titip satu lagi paling untuk dikurangi, ya, Bu ... kerupuk. Mungkin lupa, ya, kemarin-kemarin?" kataku pada pasien langgananku bertahun-tahun yang sudah hampir menyelesaikan sesi pemeriksaan dan konsultasinya hari ini.

 

"Eh kenapa emang Dok, kalau kerupuk?"

 

"Garamnya tinggi banget itu, Bu. Satu keping kerupuk yang kecil aja itu dua ratus miligram garamnya," jelasku lagi.

 

"Waduh ... eh, tapi saya nggak makan kerupuk, Dok. Makannya peyek. Anak saa mantu saya dua hari sekali pasti beli peyek, soalnya Dok. Kadang peyek kacang, kadang peyek teri."

 

"Ya itu sama aja, atuh, si Ibu mah ..." sambarku geli. “… pantes tensinya tinggi.”

 

“Duh, gitu ya, Dok ... eh, baru ini saya dengar logat Sundanya, Dok. Dokter tuh orang Sunda, ternyata?”

 

“Bukan. Saya mah campuran Jawa Timur, Jawa Tengah, Betawi, Cina, Batak, Minang. Kebetulan darah Sunda belom masuk di saya dulu,” kataku, terkekeh. “Kalo logat ini sih saya ketularan suami.”

 

“Oh, jadi suami yang Sunda?”

 

“Nah, dia ada darah Sundanya, seperempat. Selain itu juga ada Jawanya, Menadonya, sama Acehnya. Dan dia cinta bahasa banget. Jangan heran besok-besok kalo yang keluar logat yang lain, ya Bu … tiap hari saya denger bahasa hampir dari Sabang sampai Merauke, soalnya.”

 

“Wah, ternyata keluarga Dokter Bhinneka Tunggal Ika banget, ya, Dok!” komentar si ibu, riang.

 

“Alhamdulillah .. eh, maaf Bu, jadi kepanjangan ceritanya.”

 

“Lho malah saya seneng banget, Dok! Kayaknya saya tuh kalo ketemu Dokter udah lebih sehat aja gitu, Dok, sebelum minum obatnya!”

 

Akhirnya sesi konsultasi pasien terakhirku ini baru selesai lima menit kemudian, setelah aku menandatangani surat kelayakan vaksinasi Covid-19 untuknya dan kami berdiskusi sedikit lagi tentang ikhtiar berumur panjang dan rahasia umur.

 

“Ya Dokter juga sih, bonus ngobrolnya panjang,” komentar suster yang membantu di ruanganku ketika aku berseru kaget karena membaca jam.

 

“Iya, ya … gimana, dong. Abis suami saya bener, sih …. ngajak pasien ngobrol santai itu udah setengah nyembuhin mereka.”

 

Percakapan kami terhenti karena ponsel di atas mejaku bergetar. Aku menghela napas sebelum mengangkatnya, tahu panggilan itu bukan untukku.

 

“Halo, selamat siang … dengan Pak Angga?” kata si penelepon.

 

“Maaf Pak,” kataku menyela. “Bisa kirimkan pesan saja? SMS atau WA? Nanti saya teruskan ke suami saya. Hari ini HP kami tertukar dan sekarang sedang tidak bersama-sama … mohon maaf, ya ….”

Lihat selengkapnya