Sumber gambar: pixabay.com.
"Ada lebih banyak jumlah kesengsaraan di masyarakat kelas bawah dibandingkan kemanusiaan di masyarakat kelas atas." -Victor Hugo, Les Miserables.
_____________________________________
“UH UH UH!”
Aku celingukan mencari sumber suara aneh itu. Ternyata seorang perempuan setengah baya berusaha mengajakku berkomunikasi. Kami hanya terpisah oleh pagar bambu setinggi 1 meter. Ia berdiri di antara tanaman singkong yang baru berusia sekitar 3 bulan. Di pojok kebunnya, terdapat kolam ikan nila. Air kolamnya kehijau-hijauan penuh dengan lumut.
Ekspresi wajah perempuan itu datar tanpa senyuman. Terlihat anak-anak rambutnya yang beruban keluar dari sela-sela blecot krem. Warna merah baju gamisnya memudar karena sering dipakai. Tubuhnya agak kekar.
Aku menganggukkan kepala sembari tersenyum manis. Kemudian, berusaha membuka kunci pintu rumah yang macet.
“UH UH UH!”
Aku menoleh. Terkejut karena ia sudah berada di sampingku. Waw! Perempuan ini begitu cekatan. Ia bisa melompati pagar bambu tanpa kesulitan. Bahkan, tanpa menimbulkan bunyi. Aku pun bertanya, “Ada apa, Bu?”
Perempuan itu tak menjawab. Tapi, ia menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan resah. Matanya tampak panik. Bahkan, ia menghentak-hentakkan kaki. Ia bertingkah aneh seolah-olah melarangku untuk memasuki rumah tua bercat ungu itu.
Kasihan! Sepertinya, ia tunawicara. Dengan sopan aku kembali menganggukkan kepala pada perempuan yang resah itu. Kemudian, aku mengutak-atik kunci pintu rumah. Berhasil! Dengan satu dorongan keras, aku membuka pintu rumah yang keras kepala tersebut.
Bau apek menguar tajam dari dalam rumah tua tersebut. Bunyi bambu penopang genteng yang terkena angin itu menimbulkan perasaan mencekam. Sebagai orang kota, aku tak terlalu mempedulikan takhayul. Tapi harus kuakui, bulu kudukku merinding melihat rumah kosong melompong yang gelap gulita. Apakah rumah ini berhantu?
Terdengar bunyi gemerisik di sampingku. Ketika aku menoleh, tetanggaku yang misterius itu sudah menghilang.