Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #3

Bab 2 Penampakkan


Sumber gambar: pixabay.com.


Lebih banyak hantu yang menampakkan diri di ruang tidur dibandingkan tempat lain.

-Jonathan Stroud, The Creeping Shadow

_____________________________________

 

               KRIEEET!

 

 Udara dingin menyerang kakiku yang tak menggunakan selimut. Aku memang terbiasa tak menggunakan selimut. Dengan mata setengah terpejam, kulirik pintu ruang tidurku yang terbuka lebar. Aneh! Aku mengingat betul sudah menutup pintu sebelum tidur. Kulirik jam dinding yang menunjukkan tepat pukul 12 malam. Ah, mungkin engsel pintu sudah berkarat. Dengan malas, aku memaksakan diri bangun untuk menutup pintu. Dari depan pintu ruang tidurku, aku bisa melihat Dika yang sedang tidur lelap beralaskan kasur lantai hitam bermotif kotak. Ia persis seperti kepompong raksasa dengan selimut tebalnya. Jendela besar yang belum ditutupi horden membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa ada sepasang mata yang mengintai dari kegelapan.

 

   Aku bisa melihat bulan purnama dengan jelas dari balik jendela. Langit sehitam tinta tanpa setitik pun bintang yang menghiasnya. Bukankah jika bulan purnama, roh halus akan menampakkan diri? Bulu kudukku merinding. Tiba-tiba aku merasa tak hanya ditemani oleh Dika, tapi oleh sesuatu yang tak kasat mata. Oleh karena hatiku berdesir tak nyaman, aku segera menutup pintu ruang tidurku. Aman! Aku telah berada dalam sarangku.

 

   Setelah meneguk segelas air, aku pun melanjutkan tidurku. Setelah terlelap sekitar sejam, aku kembali terbangun. Dengan perasaan setengah bermimpi, aku melihat sesuatu yang berdiri di dekat kakiku. 

 

   “Ibu? Kaukah itu?” Tanyaku dengan suara parau. 

 

  Sosok putih itu tak menjawab. Ia hanya berdiri mematung.

 

  Aku mengusap kedua mataku dan memfokuskan pandanganku. Sosok itu bukan Ibu! Tapi, kunti! Jantungku berdetak sekencang lari cheetah. Wajah kunti itu cantik, tapi seputih kertas. Bibir tipisnya kebiru-biruan. Rambut hitamnya yang panjang, terjurai indah hingga melebihi lutut. Matanya yang sepucat kristal menatapku tajam hingga aku tak kuasa menjerit. Siapa yang berkata jika melihat hantu pasti akan menjerit? Itu hoax. Buktinya, aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahku kelu. Aku pun tak bisa melarikan diri karena lututku lemas. HUHUHU! Bagaimana ini? Sebaiknya, aku berpura-pura saja tak melihatnya. Tentu ia akan menghilang. 

 

   Aku pun memejamkan mata dengan perasaan yang lebih tenang. Duh, mengapa kedua kakiku terasa begitu dingin. Kakiku seperti ditiup-tiup. Jangan berkata bahwa kunti itu iseng meniup kakiku! Sungguh perbuatan yang kekanak-kanakkan. Jika tahu begini jadinya, malam ini kupakai kaus kaki Dika yang belum dicuci seminggu. Kunti itu pasti kabur mencium bau kaki Dika yang seperti muntahan kuda nil!

 

  Dengan perasaan cemas, aku membuka mataku dengan keadaan setengah terpejam. Oh My God, kunti-nya malah duduk di dekat kakiku. Di film horor kunti itu hanya berdiri atau pun terbang. Mengapa sekarang ia duduk begitu manis dan anggun layaknya putri raja? Apa mungkin ia ingin merasakan springbed? Asalkan saja ia tidak melompat-lompat di atas springbed-ku.

 

   Aku termenung memikirkan diriku yang terjebak di ruang tidur bersama kunti. Tiba-tiba jiwa materialistisku meronta-ronta. Kuambil handphone-ku yang tergeletak dekat diriku berbaring.

 

CLICK!

 

               Begitu diabadikan, kunti itu langsung menghilang. Dengan perasaan senang, kuperiksa hasil foto hantuku. Aku ingin menjual foto langka ini sebagai NFT di pasar crypto atau menguploadnya di artikel koran online. Ah, aku harus menelan rasa kecewaku karena foto kuntinya berbayang. Tak jadi aku memperoleh mata uang crypto seperti ETH. Aku pun memaksakan diri untuk kembali tidur.

 

***

               Matahari bersinar sangat cerah. Padahal baru jam 9 pagi. Aku memicingkan mata saat melihat sawah yang membentang hijau. Villa berupa rumah panggung kayu berdiri harmonis di sisi sawah. Semburat mentari menari-menari di atapnya yang merah manyala. Dengan smartphone-ku, aku pun mengabadikan keindahan villa eksotis tersebut.

 

               “Ima, kita sarapan karedok dulu. Harganya pun hanya 10 ribu Rupiah,” ajak Ibu yang tergiur melihat harga karedok yang tertera di spanduk warung makanan yang usang termakan masa itu. Matanya berbinar begitu melihat warung kecil yang tertata rapi tersebut. Ia menarik tangan kananku agar segera memasuki warung yang terletak tepat di kaki bukit itu.

 

               “Mau pesan apa?” Tanya perempuan setengah baya yang berwajah manis tersebut. Senyumnya pun semanis gula aren.

 

               “Satu porsi karedok. Pakai kencurnya yang agak banyak,” ujar Ibu.

 

Lihat selengkapnya