Sumber gambar: pixabay.com.
"Mata merah menatap penuh dendam kesumat."
-Bram Stoker, Dracula.
_____________________________________
“Kak Ima, kau terluka? Apa itu yang mengalir di kakimu?” Tanya Dika. Ia hendak berangkat ke Musholla yang terletak di sebrang rumah. Sajadah hijau tersampir di bahunya.
“Tidak, bukan luka. Menstruasiku sedang deras,” ujarku sembari melirik ke kakiku. Benar saja darah menstruasiku menganak sungai hingga ke mata kaki.
“Bukankah menstruasimu sudah menginjak hari ke-7? Seharusnya, sudah tinggal flek,” ujar Ibu dengan kritis.
“Sudah hari ke-9.”
“Sepertinya, kelainan hormonmu kambuh lagi. Cepatlah kau ganti pembalutmu!”
Aku menganggukkan kepala. Kemudian, aku berjalan dengan langkah gontai ke ruang mandi. Darah menstruasiku lebih deras hari ini dibandingkan kemarin. Warna darahnya merah segar. Aku merasa agak mual karena bau amis darah menguar. Ugh, bagaimana jika menstruasiku tak berhenti juga? Aku malas harus ke rumah sakit di pusat kota yang jaraknya mencapai 10 km.
Ibu mengetuk pintu ruang mandi. “Ima, kau baik-baik saja? Jangan terlampau lama di ruang mandi, terutama saat Magrib!”
“Ya, Bu. Aku segera keluar.”
“Apa kau mau periksa ke bidan?”
“Tak perlu, Bu. Dari mana uangnya? Honorku sebagai penulis artikel majalah online belum cair juga.”
Ibu mengerutkan kening. “Nanti Ibu akan coba meminjam uang ke Bu Liza.”
“Tenang saja, Nanti juga menstruasiku berhenti,” sahutku menenangkan perasaan ibuku yang mudah panik.
“Mungkin kau kelelahan. Kemarin kita naik turun bukit dua kali. Ibu kan sudah melarangmu ikut belanja sayur karena kau sedang menstruasi. Jika kau sudah sakit begini, yang repot Ibu juga,” omel Ibu. Rasanya sakitku bertambah parah jika ibu mulai mengeluarkan rentetan kata tanpa henti seperti petasan yang disulut menjelang pernikahan.
Aku memperlihatkan mimik sedih agar Ibu berhenti mengomel. Ah, tak berhasil.
“Kau tak akan sakit seperti ini jika bapakmu tak ceroboh hingga kita terdampar di tempat terpencil seperti ini,” celoteh Ibu. Wajahnya tampak gusar. “Kau juga salah, Ima. Mengapa kau tak segera menikah? Ibu kesal kau sering disebut perawan tua oleh kawan-kawan Ibu. Kau tak ingat nasehat dokter Pram bahwa kau harus menikah untuk menstabilkan kelainan hormonmu? Ibu tak pernah melihat kau dekat dengan pemuda mana pun. Jangan terlampau selektif! Nanti kau malah dapat pasangan dengan kualitas buruk.”
“Bu, aku lapar,” kata Dika untuk menghentikan serangan Ibu yang segencar senapan otomatis. Wajah Dika tampak begitu memelas. Ih, jika Dika yang berakting sedih, hati Ibu langsung luluh. Ibu bergegas mengambilkan nasi dan lauk pauknya untuk sang anak kesayangan yang baru saja pulang dari Musholla.