Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #5

Bab 4 Hutan Kayu Berhantu


Sumber gambar: pixabay.com.


"Sehening pemakaman, kau yang berjalan sendirian di Hutan Kayu Berhantu sungguh-sungguh berjalan sendirian."

-Abbott Chytil of the Wendelin Abbey. 

J.V. Hilliard, the Last Keeper.

_____________________________________

 

  “Kak Ima, setelah melihat genderuwo bermata merah itu, aku sulit tidur. Masih terbayang wajahnya yang seram di pelupuk mataku,” kata Dika dengan mimik serius.

 

   “Kemudian?” Tanyaku tak acuh. Dika memang peka. Jari-jariku sibuk mengetik artikel mengenai masker wajah. 

 

  “Kakak cuek sekali. Padahal ini berkaitan dengan Kakak.”

 

  Kualihkan pandanganku dari layar laptop. “Waktumu bercerita hanya 5 menit. Aku harus menyelesaikan artikel ini secepat mungkin. Sudah deadline.”

 

  "Setelah Shalat Tahajud, aku jatuh tertidur dan bermimpi genderuwo itu mengikuti Kakak yang sedang berjalan kaki di hutan jati. Pepohonan jatinya tinggi dan ramping.”

 

   Aku mengerutkan kening. “Aneh juga mimpimu. Aku memang selalu melintasi hutan jabon (jati kebon) bersama Ibu jika membeli sayur di Mang Usman.”

 

   Dika tersenyum lebar. “Ini pasti petunjuk dari Shalat Tahajud. Saat melewati hutan jati tersebut, apakah Kakak sedang menstruasi?”

 

   “Iya, aku sedang menstruasi hari ketiga.”

 

 “Kakak ceroboh sekali. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang naik gunung. Kakak menaiki lereng Gunung Salak. Bagian bawah gunung dihuni oleh makhluk beraura negatif. Pantas saja Kakak mengalami menstruasi berkepanjangan. Darah menstruasi mengundang makhluk halus.”

 

   Aku termangu. “Analisismu benar juga. Tumben kau pintar.”

 

  Dika mendengus. “Tentu saja aku pintar. Jangan meremehkanku! Apakah Kakak mencuci dulu pembalut sebelum dibuang? Sebrang rumah ini kan Sungai Cisadane. Khawatirnya, darah menstruasi Kakak juga mengundang makhluk halus yang menghuni Sungai Cisadane.”

 

 “Aku memang tak percaya takhayul seperti itu. Pembalut tak pernah kubilas.”

 

  Dika menepuk dahinya. “Kakak ini bagaimana? Kita tak tinggal di kota lagi. Kita tinggal di lereng Gunung Salak yang cukup angker. Aku tak mau memiliki keponakan berbulu hitam di sekujur tubuhnya.“

 

  “Jangan bercanda hal seram! Perasaanku jadi tak enak. Siapa yang mau punya anak dengan genderuwo,” sahutku kesal. Aku menggerutu ketika tanpa sadar aku mengetik kata ‘genderuwo’ di layar laptopku.

 

  “Makanya, cepatlah cari calon suami dan menikah! Buatlah si pangeran genderuwo patah hati!”

 

  “Hentikan menggodaku! Kau hanya mengganggu konsentrasiku bekerja,” sungutku sembari melempar bantal ke wajah Dika yang menyeringai. Tepat sasaran!

Lihat selengkapnya