Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #6

Bab 5 Cilukba


Sumber gambar: pixabay.com.


"Aku hampa dari segalanya. Aku hampa dari segalanya, tapi hantu yang rapuh dan tipis, ada di dalam ruanganku."

-Jean Rhys, Good Morning, Midnight

________________________________________


  “Ima, jangan melakukan yoga! Kau kan sedang menderita menstruasi berkepanjangan,” ujar Ibu.

 

               “Menstruasiku sudah selesai. Perutku tak sakit lagi berkat minum susu jahe yang Ibu belikan kemarin,” kataku riang.

 

               “Alhamdulillah! Susu jahe memang bagus untuk meningkatkan stamina. Tapi, jangan terlampau letih!”

 

               Aku menganggukkan kepala. Gerakan kobra pun kulakukan berulang kali di atas tempat tidur karena tak ada ruang yang leluasa di rumah ini. Tapi, aku merasa ada yang terus memperhatikanku. “Ibu masih ada perlu denganku?”

 

               Tak ada jawaban. Karena heran, aku menoleh. Bulu kudukku seketika merinding. Ada anak laki-laki tampan berkemeja koko putih yang memperhatikanku dari balik pintu. Ia seperti bermain cilukba denganku dengan menjulurkan dan menarik kepalanya berulang kali. Senyum nakal bermain di bibir yang mungil tersebut. Kemudian, ia menghilang.

 

               Ternyata ada anak jin di rumah tua ini. Apakah ia penunggu rumah ini?

 

***

               Ketika Ibu mencuci tumpukan piring kotor di wastafel, ia merasa ada angin yang bertiup di kedua kakinya. Angin itu seperti tangan-tangan tak kasat mata yang membelai dari ujung jempol kaki, merambat ke mata kaki, dan kemudian menggelitik betis. Ibu menundukkan tubuhnya ke bawah wastafel. Angin dari arah mana? 

 

               Angin itu kembali bertiup. Kali ini ke sekujur tubuh Ibu. Tiba-tiba bulu kuduk Ibu merinding. Di dinding yang menghadap dirinya, ada 2 bayangan. Yang pertama bayangan dirinya, tapi yang lainnya bayangan siapa? Dengan jantung berdebar, Ibu membalikkan tubuhnya dengan perlahan. Napasnya langsung tercekat. Di hadapannya berdiri pria setengah baya. Pandangan matanya begitu tajam. Alisnya yang tebal menambah kesan sangar. Ia memakai kopiah, kemeja putih, dan celana panjang abu-abu. Tapi, pria tersebut tak memiliki kaki! Dari ujung kaki hingga ke lutut, hanya berupa bayangan samar-samar yang menyatu dengan sekelilingnya. Roh halus itu melayang. Setiap detiknya, ia semakin mendekati Ibu hingga hidungnya hanya berjarak 5 cm dari hidung Ibu. Hawa dingin yang menusuk semakin terasa. Punggung Ibu pun menempel ke wastafel dapur karena terdesak.

 

               Bibir Ibu berkomat-kamit membacakan ayat pengusir hantu. Secepat datangnya, secepat pula roh halus tersebut melenyapkan diri. Ibu menarik napas lega. Rumah tua ini benar-benar angker! Tengah hari juga roh halus berani mengganggu.

 

***

               Seperti biasa, aku menggosok gigi sebelum tidur. Pintu ruang mandi kubiarkan terbentang lebar. Malam ini begitu hening. Biasanya, Bapak menyetel televisi dengan volume menggelegar. Ia sering menonton pertandingan sepakbola hingga larut malam. Kemudian, ia akan bersorak dan mengumpat sesuka hati. Pokoknya heboh! Tapi, malam ini Bapak asyik membaca koleksi buku Perang Dunia kesatu. Ibu yang senang berbincang pun sudah terlelap dari jam 8 malam. Dika tidur nyenyak seperti orang mati. Aku bisa mendengar suara dengkurannya yang keras dari ruang tamu hingga ke ruang mandi. 

 

               Aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku hingga punggungku terasa bolong. Aku pun menoleh hanya untuk mendapati si anak jin kembali cilukba denganku. Kepalanya menjulur dari balik dinding dapur yang berhadapan dengan ruang mandi. Senyumnya mengembang dengan malu-malu. Dengan perlahan, ia berjingkat-jingkat keluar dari sarang persembunyiannya seperti anak kucing yang takut menghadapi dunia. Ia berdiri di hadapanku seolah-olah memperkenalkan diri. Kemudian, ia menghilang begitu saja.

 

   Harus kuakui bocah jin tersebut tampak menawan. Penampilannya tak seram. Kulitnya putih bercahaya. Rambut hitam ikal membingkai wajahnya yang oval. Matanya berbinar ramah. Tapi, tetap saja ia jin. Apa yang ia inginkan dengan menampakkan diri dua kali padaku? Apakah ia penunggu rumah tua ini?

 

***

               “Bapak, mengapa tidur bersamaku?” Tanya Dika. Ia merasa keberatan karena tempat tidurnya yang sempit semakin tak nyaman dengan adanya Bapak yang mendesak dirinya hingga ke tepi. Jika tidur berdua, pasti Dika berisiko jatuh ke lantai.

 

               “Bapak takut tidur di ruang tidur itu,” kata Bapak dengan suara pelan. 

 

               Dika mengerutkan kening. “Bapak benar takut? Atau, Bapak bertengkar dengan Ibu?”

 

               Bapak menggelengkan kepala. “Hubungan Bapak baik-baik saja dengan Ibu.”

 

               “Lalu, mengapa Bapak takut? Kan ada Ibu di ruang itu?”

 

  “Ibu tak diganggu oleh makhluk halus itu. Semalaman kemarin Ibu tidur lelap. Tapi, Bapak tak bisa memejamkan mata sama sekali.”

 

 Dika terkekeh, “Mungkin pesona Bapak tak tertahankan bagi makhluk halus yang kesepian. Sepertinya ia betina yang haus belaian.”

 

    Bapak menyentil dahi Dika dengan gemas. “Kau ini! Bapak sedang serius, kau malah bercanda.”

 

   “Aku serius, Pak. Kapan aku tak serius? Kapan?”

 

   “Jangan suka mengolok-olok orang tua!” Tegur Bapak. Seulas senyum terbit di bibirnya yang tipis.

 

  “Memangnya Bapak diganggu makhluk halus apa?” Tanya Dika. Mimik wajahnya dibuat seserius mungkin. Tak urung sudut kiri bibirnya berkedut karena menahan semburan tawa.

 

   “Kunti. Semalaman ia cekikikan. Memang suaranya terdengar samar-samar,” bisik Bapak. 

 

  “Sudah kuduga. Pasti makhluk halus betina. Jika suara kunti terdengar samar-samar, berarti ia berada sangat dekat dengan Bapak,” bisik Dika dengan suara diseram-seramkan.

Lihat selengkapnya