Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #8

Bab 7 Halimun Salak


Sumber gambar: indonesia.travel.


Seolah-olah aku sedang menuruni lereng, padahal kupikir akan menanjak. Begitulah yang terjadi. Menurut pendapat masyarakat, aku sedang menuju ke atas, namun kehidupan juga semakin menjauh dariku.

-Leo Tolstoy.     

________________________________________

 

   Jam 7 pagi aku dan Ibu menaiki lereng Gunung Halimun Salak yang terjal dengan penuh semangat. Udara pagi sangat segar. Kristal embun yang menggantung di dedaunan berkilauan di bawah sinar mentari. 

 

   Lewat jam 10 pagi aku merasa sesak napas jika berjalan kaki. Cuaca ekstrim membuat sinar matahari lebih terik dari biasanya. Udara panas menyebabkan debu lebih beterbangan dan menyiksa paru-paruku. Menurut peneliti lingkungan, ozon berlubang karena pencemaran udara sehingga menyebabkan pemanasan global. Bumi sedang tak baik-baik saja! 

 

   Oleh karena Jabodetabek terkena masalah polusi udara, pemerintah menerapkan larangan membakar sampah sembarangan. Sampah daun atau limbah sayuran seharusnya dikubur. Sedangkan sampah anorganik sebaiknya didaur ulang. Sudah banyak penganut lingkungan hijau yang mendaur ulang sampah anorganik menjadi batu bata, paving block, pot tanaman, atau pun tas belanja. Karena terpencilnya area ini dan keterbatasan akses informasi, masih banyak warga yang membakar sampah daun kering, terutama saat sore hari. Mataku sering pedih karenanya.

 

   “Hebat benar Umi (panggilan untuk ibu) masih kuat menaiki lereng gunung. Saya sudah tidak kuat berjalan jauh. Jika jongkok, kemudian berdiri pun saya seperti melakukan gerakan dangdut patah-patah. Pinggang saya langsung menjerit. Ibu sangat sehat walaupun sudah setengah baya,” puji Bu Iroh, tetangga yang berjualan bakso mercon. Ia memandang iri pada kedua kaki Ibu yang masih kuat berjalan kaki. Ibu yang aktif memang tak pernah memanjakan tubuhnya dengan bermalas-malasan. 

 

   “Mereka berdua tak pernah memesan ojek,” bisik seorang pengemudi ojek pengkolan pada rekannya di saung (rumah khas Sunda) kecil, tempat mangkalnya ojek. Para pengemudi ojek pengkolan memandang sedih pada kami berdua yang tak pernah menggunakan jasa mereka. Bukannya pelit, tapi uang kami memang sekering Gurun Sahara. Jasa ojek pengkolan sebesar 15 ribu Rupiah. Uang sebanyak itu bisa membeli ayam seperempat kilogram dan sebungkus sayuran sop yang terdiri atas 3 wortel, 1 kentang, sebongkah kol, daun bawang, dan seledri. Sekeluarga bisa kenyang dengan sepanci sup ayam tersebut. Atau, uang tersebut digunakan untuk membeli sebungkus sayur asam dan tempe. Zaman sekarang, kita dituntut untuk mengatur menu sehat semaksimal mungkin dengan budget seminimal mungkin. 

 

   Di tepi kiri jalan, Sungai Cisadane mengalir deras. Terdengar deru air menampar bebatuan sungai. Menatap Sungai Cisadane dari atas lereng, membuatku teringat perkataan kerabatku, Mang Rakay.

 

   “Salah satu nenek moyang kita menikah dengan jin perempuan Sungai Cisadane,” ujar Mang Rakay bombastis sehingga membuatku menaikkan kedua alisku. Benar-benar di luar nalar.

 

  “Mang, mana mungkin jin menikah dengan manusia? Jin dan manusia berbeda alam. Musyrik!”

 

   Mang Rakay mengangkat bahu. “Itu sudah menjadi legenda di keluarga kita. Orang tua Mamang pernah mengajak Mamang untuk melihat anak hasil pernikahan jin dan manusia.”

 

   “Lalu, anak jin seperti apa?” Tanyaku berpura-pura antusias. Sebenarnya, aku tak percaya. Tapi, aku tak ingin mengecewakan pamanku yang sudah berusia 70 tahun ini. Ia sangat antusias menceritakan legenda jin Sungai Cisadane.

Lihat selengkapnya