Sumber gambar: pixabay.com.
Hanya karena orang-orang membuangnya dan tidak menggunakannya, hal tersebut bukan berarti sampah.
-Andy Warhol.
_______________________________________
“Ima, apakah kau yang membuang sampah di luar rumah? Sekarang sampahnya menyumbat got,” seru Bapak dengan gusar. Ia berdiri dengan berkacak pinggang tepat di depan pintu ruang tidurku yang terbuka.
“Bukan aku. Tanya saja pada Dika. Mungkin ia tahu siapa yang suka membuang sampah di sana,” jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari layar laptop.
“Anak sekarang tak tahu sopan santun. Tak mau memandang jika bicara dengan orang tua, “gerutu Bapak.
“Maaf, Pak. Aku sibuk. Pekerjaanku sudah mendekati deadline. Jika artikelnya tak diupload tengah hari ini, honorku akan dipotong,” ujarku datar sembari menatap Bapak sekitar 5 detik. Aku tak mau terpancing oleh kalimat sinis Bapak.
“Kau kan bisa 5 menit saja memberi waktumu yang berharga itu untuk berbicara dengan Bapak.”
Tak ada yang menyangka Bapak segarang singa di keluarga. Sungguh berbeda dengan image Bapak yang toleran dan penuh perhatian di mata orang lain. Stevia yang seratus kali lebih manis dari gula pun kalah dengan perkataan Bapak yang membuai hati orang lain. Sebagai anak, aku harus memaklumi segala kecerewetannya. Bapak yang lahir dari keluarga terpandang, tentu merasa merana saat jatuh miskin. Tapi, ia tak mau memahami aku yang bukan anak kecil lagi. Ia tak bisa bersikap diktator lagi padaku. Dika yang manis dan humoris memang lebih pandai menjinakkan Bapak, dibandingkan aku yang cuek bebek.
Bapak mendengus karena tak bisa melampiaskan amarahnya padaku. Sepasang mata tua itu menscan ruang tidurku seakan-akan mencari harta karun. Aku pun langsung menyodorkan sekantung kuaci bunga matahari varian teh hijau. Senyum pun merekah di wajah penuh keriput tersebut. Aku menyeringai ketika Bapak berlalu dengan riang. Kuaci terbukti menenangkan hati yang resah. Dengan kata lain, kuaci sangat sesuai untuk orang yang cerewet karena kuaci membuat sibuk orang yang menyantapnya! Kuaci harus dikupas dan dikunyah perlahan.
Dika yang baru selesai mandi, bersiul-siul. Ia menghampiri Bapak yang sedang duduk di teras. ”Wah, Bapak sedang pesta cemilan sendiri. Jangan bersenang-senang sendiri! Ajak aku juga dong, Pak!”
Bapak langsung menepuk tangan Dika yang berusaha mencomot kuaci sebanyak mungkin. Ia menatap Dika dengan curiga. “Bersih tidak tanganmu?”
Dika mencibir. “Lebih bersih tanganku dari tangan Bapak.”
“Kau mulai berani terhadap Bapak, ya?” Tanya Bapak dengan senyum lebar.