Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #11

Bab 10 Sempol Ayam


Sumber gambar: pixabay.com.


Dan percayalah padaku, sepotong ayam dapat membuat setiap orang percaya keberadaan Tuhan.

-Sherman Alexie, The Absolutely True Diary of a Part-Time Indian.

____________________________________


    “Ima, sudah kau giling dada ayamnya?” Tanya Ibu yang telah berdandan rapi. Gaun tangan panjangnya yang berwarna hijau muda, serasi dengan kerudungnya yang berwarna pastel.

 

               Aku menganggukkan kepala. Dengan setengah merenung, aku mencampurkan daging ayam giling, margarin, tepung terigu, tepung tapioka, telur ayam, air, garam, bawang putih, bubuk kaldu ayam, bubuk paprika, dan merica. Tak lupa kutambahkan irisan bawang daun. Kemudian, aku menuangkan adonan sendok demi sendok ke wajan berisi minyak panas. Sendok yang kugunakan ialah sendok sayur sehingga ukuran sempol ayamnya cukup besar.

 

               “Bu, apa dagangan sempol ayam ini akan laku?” Tanyaku sembari memperhatikan adonan sempol ayam yang hampir matang dan berwarna kuning keemas-emasan. Aromanya pun menguar ke seluruh penjuru dapur.

 

               Ibu mengernyitkan kening. “Mengapa kau pesimis? Sempol ayam ini enak dan gurih.”

 

               “Pak Mus, Ketua RT melarang Ibu berjualan karena daya beli warga sekitar rendah. Ia pernah berjualan bakso, tapi bangkrut.”

 

               “Setiap orang memiliki rezeki yang berbeda. Mungkin ia kurang beruntung dalam berdagang. Harga sempol ayam yang kita jual murah. Hanya 5 ribu Rupiah untuk empat sempol,” ujar Ibu dengan tenang.

 

               “Bu Mira juga mengatakan warga di sini tak suka jika Ibu berjualan karena pendatang.”

 

               “Tak perlu kau pedulikan. Ibu juga mengerti persaingan dagang di area ini ketat. Terlihat dari sampah yang dibuang ke luar pagar rumah kita. Orang yang membuang sampah tersebut sepertinya tak suka jika Ibu berjualan. Tapi, hak Ibu untuk berjualan di sini. Ibu tak akan mengurungkan niat Ibu hanya untuk masalah sepele,” tegas Ibu. 

 

               Aku mengangkat bahu. “Aku juga tak mengerti jalan pikiran mereka, Bu.”

 

   “Mengapa mereka begitu resah? Di pasar, penjual barang yang serupa juga saling berdampingan,” ujar Ibu sembari menghela napas. “Memangnya mereka hendak membiayai keluarga kita? Kau tahu sendiri, Bapak tak bekerja setelah dipecat. Masa Ibu membebani segala biaya rumah tangga ke pundakmu? Ibu akan melatih Dika agar pandai berjualan, walaupun ia belum ahli memasak. Dika juga sangat antusias. Ia jenuh tinggal di sini tanpa melakukan apa pun.”

 

               “Baiklah. Aku akan membantu Ibu dan Dika memasak setiap pagi.”

 

               “Jika kau harus mengarang artikel, tinggalkan saja masakannya. Ibu yang akan meneruskan pekerjaanmu.”

 

Lihat selengkapnya