Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #12

Bab 11 Isu Non-halal


Sumber gambar: pixabay.com.


Jangan buang waktumu dengan menjelaskan: orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar.

-Paulo Coelho.

__________________________________________

 

“Sebelumnya, aku sudah menyebar selebaran ke tetangga bahwa hari ini launching sempol ayam. Tapi, mengapa penjualan hari ini sepi sekali, ya?” tanya Dika sembari mengipas-ngipas wajahnya yang memerah kepanasan. “Sejak tadi hanya 2 orang yang membeli sempol ayam. Padahal banyak pejalan kaki yang berhenti. Tapi, mereka hanya sekedar melihat sempol tersebut. Aku jenuh menunggu pembeli,” keluh Dika. Jari-jarinya yang kokoh mengetuk-ngetuk permukaan kasar meja kayu dengan tak sabar.

 

“Mungkin mereka tak punya uang untuk jajan,” ujarku sembari merapikan ranting tanaman mawar merah. Tanaman tersebut berpaham liberal. Ia tumbuh tak beraturan dengan duri tebal yang mencuat. Sudah 3 kali tanganku tergores duri mawar ini.

 

Dika terkekeh, “Mana mungkin mereka tak mampu. Sejak tadi para Emak beralis Shinchan hilir mudik dengan dandanan menor. Bedak putih setebal 10 inci. Bibir semerah darah. Tas belanjaannya juga penuh sayur mayur. Gamis berwarna-warni melambai-lambai.”

 

Ibu mengerutkan kening. “Apa kau kurang ramah?”

 

“Ah, Ibu ini bagaimana? Anak ibu ini ganteng dan ramah. Calon menantu idaman,” ujar Dika dengan narsis. Kedua matanya berbinar jenaka. Ia pun menjentikkan jarinya untuk memberi salam cinta ala orang Korea. Bibirnya mengerucut imut. Muaaach!

 

Aku mencibir. “Tapi, kau belum mandi. Aroma tubuhmu yang sekecut cuka itu mengusir calon pelanggan.”

 

“Kak Ima, jangan suka membongkar aib keluarga sendiri. Aku tak mandi seminggu pun, aroma tubuhku tetap harum berkat parfum wood. Sekarang Kakak buktikan sendiri keharumanku yang semerbak seperti peri hutan.”

 

“Parfum wood? Itu kan parfumku yang hilang. Jadi, selama ini kau yang memakainya?” tanyaku sembari menoleh. Mataku mendelik penuh ancaman pembunuhan. “Kau memakainya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Itu sama saja dengan mencuri!”

 

Dika tersenyum simpul. Raut wajahnya tetap santai. “Bukan mencuri. Aku hanya menggunakan parfum yang tersedia begitu saja di depan mataku. Parfum itu ada di ruang mandi. Mubazir jika tak digunakan. Jangan pelit, Kak! Aku tahu Kakak memiliki banyak parfum lain. Lagipula Kak Ima yang jomlo memakai parfum untuk bertemu siapa?”

 

Aku menyodorkan tangan kananku. “Kembalikan parfumku sekarang juga.”

 

“Sudah habis.”

 

“Dika jelek! Parfum wood itu parfum kesayanganku, hadiah dari Vero, sahabatku yang tinggal di Inggris. Aku sengaja menghematnya untuk event istimewa.”

Lihat selengkapnya