Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #13

Bab 12 Sang Hantu


Sumber gambar: pixabay.com.


Dalam suatu aspek, ya, aku percaya hantu, tapi kita yang menciptakannya. Kita yang menghantui diri kita sendiri.

-Laurie Halse Anderson, Wintergirls.

___________________________________________

               “Ibu menyimpan dada ayam di mana?” Tanyaku. Tanganku memeriksa tote bag ungu yang tergantung di dinding. Tapi, nihil. Hanya ada berbagai varian mie instant. Makanan pemersatu bangsa tersebut memang favorit Dika dan Bapak. Sedangkan Ibu dan aku menghindari mie instant yang sering membuat gastritis kami berdua kambuh.

 

               “Bukan di tote bag. Tapi, ada di dapur. Tolong segera masukkan dada ayamnya ke kulkas! Takut dicuri tikus.”

 

               Aku menganggukkan kepala. Sebenarnya, aku enggan ke dapur sendirian saat malam hari. Tapi Ibu dan Dika tampak lelah. Mereka berdua sedang rebahan sembari makan kacang sukro.

               

KRIUK! KRIUK! KRES!

 

               Bunyi apa itu? Jangan-jangan tikus naik ke meja dapur dan mencuri dada ayam. Aku pun setengah berlari menyusuri lorong gelap menuju dapur.

 

               Bapak pelit sekali! Ia selalu mematikan lampu area belakang rumah walaupun malam hari. Dapur pun sekelam tinta. Hanya lampu ruang mandi dekat dapur, yang menyala sangat temaram. Rumah gadai ini sudah cocok menjadi rumah hantu! Tak perlu lagi tambahan aksesoris seram.

               

KRIUK! KRIUK! KRES!

 

               Aku menekan saklar lampu dapur yang berada dekat wastafel dapur. Pemandangan mengerikan di hadapanku membuat jantungku membeku. 

 

               Bapak sedang duduk di sudut dapur. Ia menyantap dada ayam dengan begitu rakus. Mulut dan tangannya berlumuran darah. Melihatku, tak membuat Bapak gugup. Ia menjilati jemarinya yang bernoda darah.

 

               Keringat dingin langsung mengucur di tengkukku. Ini Bapak atau zombie? Sejak kapan Bapak yang vegetarian, suka dengan hidangan daging? Apalagi daging mentah! Nanti Bapak cacingan atau flu burung. Aku tak tahan memikirkan kecerewetan Bapak jika sakit. Sebaiknya, kularang saja ia menyantap hidangan mentah.

 

               “Enak, Pak? Seperti sashimi, ya?” Sindirku.

 

               Bapak melirikku. Kemudian, ia menggeram. Aku mengartikannya hidangan mentah itu memang enak. 

 

               “Bapak sedang mukbang raw meat? Kurang higienis, Pak. Tak ada wasabi yang menetralisir. Bagaimana jika Bapak sakit?”

 

               Tanpa mempedulikan pertanyaanku, Bapak malah semakin lahap menyantap dada ayam tersebut. Ia seperti manusia purba yang tak makan selama seminggu.

 

   “Pak, mau makan pakai nasi, tidak? Agar Bapak cepat kenyang,” usulku. 

 

  Bapak melotot. Kemudian, ia menggigit dan mencabik dada ayam tersebut dengan ganas. Semakin kuajak bicara, ia semakin lahap seolah-olah menantangku.

 

    Aku memutar bola mataku. Seperti biasanya, aku sulit berkomunikasi dengan Bapak yang otoriter.

 

  Bagaimana caranya memberitahu Bapak yang mukbang dada ayam mentah seperti kerasukan roh halus? Dada ayam yang ia makan itu bahan sempol ayam untuk jualan besok pagi. Sepertinya, ia sudah menyantap beberapa dada ayam. Jika dibiarkan, ia bisa menghabiskan semua persediaan dada ayam. Biar Dika saja yang menasehati Bapak. Dika kan anak kesayangannya. Dika memang semanis koala.

 

***

               “Dika, kau saja yang menasehati Bapak,” pintaku pada Dika yang sedang menonton Youtube horor Nissa Judge sembari rebahan.

 

               Dika mengangkat alis. “Menasehati apa?”

 

               “Bapak menghabiskan sebagian besar stok dada ayam di dapur.”

 

Lihat selengkapnya