Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #15

Bab 14 Karedok

Sumber gambar: kompas.com.


Perempuan mendambakan bad boy yang hanya baik pada dirinya. Sementara pria mendambakan gadis baik-baik yang cukup nakal baginya.

-R.A. Delmonico.

________________________________________

  Mang Alip melambaikan tangan. “Bu, kemari.”

 

 Aku dan Ibu yang baru saja selesai berbelanja barang kebutuhan pokok di Warung Bu Imas pun langsung meluncur ke sebrang jalan. 

 

  Dengan wajah berseri seperti bunga matahari, Mang Alip berkata, “Ibu kan senang menyantap karedok. Bagaimana jika Ibu mencoba karedok buatan Teh Deden, istri kakak saya? Raos pisan rasana, leuwih ti buatan Bu Etty! (Enak sekali rasanya, lebih dari buatan Bu Etty!)”

 

  Ibu yang sulit menolak permintaan orang pun langsung menyetujuinya. Selain itu, karedok merupakan makanan favorit Ibu. “Sumuhun. Dagangna palih mana? Urang tuang sareng ngawangkong. (Iya. Dagangnya sebelah mana? Mari kita makan sembari berbincang.)”

 

 “Palih dieu. (Sebelah sini.),” sahut Mang Alip. Ia menuruni undakan di hadapannya. Rumah Mang Danu sangat asri dan bersih walaupun terletak lebih rendah dari jalan aspal. Dengan santai, aku dan Ibu pun duduk selonjoran di atas lantai keramik teras yang seputih salju. Di hadapan kami ada kolam ikan nila yang cukup luas. Angin bertiup sepoi-sepoi. Sungguh senang jajan di tempat seperti ini. Healing!

 

 “Assalamualaikum, Teteh. Ada yang mau beli,” kata Mang Alip di depan pintu dapur yang terbuka lebar.

 

 “Walaikumsallam.” Tak berapa lama kemudian, Bi Deden yang berperawakan mungil keluar sembari membawa 3 gelas teh tawar hangat. Wajahnya manis dan ramah. 

 

  “Mau beli karedok atau gado-gado?”

 

  “Karedok. Mang Alip ingin makan apa?” tanya Ibu.

 

  “Sama saja dengan Ibu,” jawab Mang Alip.

 

  “Harganya berapa, Teh?” tanya Ibu.

 

  “Delapan ribu Rupiah,” ujar Bi Deden.

 

  “Satu karedok untuk saya dan Ima, anak saya. Maaf, boleh tidak kami makan masing-masing setengah porsi? Uangnya pas-pasan. Tapi, Mang Alip tetap satu porsi.”

 

  Bi Deden menganggukkan kepala. 

 

 “Ada uang untuk membayarnya, tidak? Kalian kan baru berbelanja. Jangan memaksakan diri untuk mentraktir saya!” seru Mang Alip. Raut wajahnya tampak khawatir.

 

 “Ada,” jawabku singkat. Aku tersenyum untuk menenangkan hati Mang Alip. Kemudian, aku pun membuka ritsleting sling bag dan mengaduk isinya. 

 

  Mang Alip ikut mengintip isi sling bag-ku. “Banyak kartunya?”

 

 “Iya, banyak kartu. Tapi, saldonya kosong,” sahutku sembari menyeringai. Akhirnya, uang 16 ribu Rupiah yang terselip kutemukan juga.

 

 “Cabainya berapa?” tanya Bi Deden. Tangan kanannya menggenggam batu ulekan.

 

 “Lima,” jawab Ibu. Kemudian, ia menoleh. “Mang Alip?”

Lihat selengkapnya