Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #17

Bab 16 Jodoh


Sumber gambar: pixabay.com.


Aku katakan padamu. Kau tidak mencintai seseorang karena wajahnya, pakaiannya, atau mobilnya. Kau mencintainya karena ia menyanyikan lagu yang hanya dimengerti oleh hatimu.

-L.J. Smith.

_____________________________________


   “Assalamualaikum.”

 

   “Wassalaikumsalam,” ujar Ibu sembari membukakan pintu pagar rumah. “Mang Alip, mari masuk! Saya sudah menunggu Mang Alip sejak pagi.”

 

               Dengan wajah bersimbah keringat, Mang Alip meletakkan sekarung besar hasil panennya. “Maaf Bu, saya terlambat datang. Banyak pekerjaan di kebun hingga tengah hari. Ini saya baru sempat memanen sekedarnya. Kebunnya agak jauh di atas bukit.”

 

               “Tidak apa-apa. Terima kasih banyak. Varian singkong apa ini? Singkong mentega?” Tanya Ibu sembari mengintip ke dalam karung goni yang belepotan tanah tersebut.

 

               “Bukan, ini singkong aci. Walaupun ukuran umbinya lebih kecil, tapi rasanya lebih pulen. Daging umbinya tak keras. Mau digoreng atau dikukus, sama saja enaknya.”

 

               Ibu menganggukkan kepala mendengar promosi singkong aci kebanggaan Mang Alip. “Banyak sekali hasil panen yang Mang Alip bawa. Tak hanya singkong, Mamang juga membawa pisang dan ubi. Apa Mamang tak rugi? Saya hanya membeli semua ini dengan 20 ribu Rupiah?”

 

               “Aduh, Ibu. Tak boleh berkata seperti itu. Kita ini kan sudah seperti keluarga. Saya sangat senang Ibu mau berhubungan baik dengan saya. Tapi keluarga Ibu suka kan dengan kuliner ala desa seperti ini? Jangan-jangan makanan seperti ini dibuang begitu saja ketika saya pulang!” Ujar Mang Alip dengan raut wajah penuh kekuatiran.

 

               “Iya, Mang. Dibuang ke perut,” celetuk Dika dengan ekspresi jenaka.

 

               “Dika ini bisa saja bercandanya. Mamang suka sekali dengan Dika yang ramah dan pandai mengaji. Kemarin malam pun Mamang melihat Dika ada di Madrasah,” sahut Mang Alip dengan mata penuh sayang. Aku hampir tersedak ketika Mang Alip memijit lembut kedua pipi chubby Dika. “Pipina hipu! (Pipinya empuk!)”

 

               Mang Alip menoleh pada Ibu, “Dika untuk saya saja, Bu! Biar anak Ibu yang tampan ini jadi anak saya saja. Nanti ia akan saya latih agar menjadi petani handal yang berpenghasilan besar. Tak boleh pemuda seperti Dika hanya berdiam diri di rumah. 

 

               “Dika berjualan sempol ayam dan nasi uduk,” sahut Ibu. Ia tak terima Dika disinggung.

 

               “Tapi Dika harus aktif dan berdiri di atas kaki sendiri.”

 

               “Anak ini belum pernah berkebun sama sekali. Ia mudah terpeleset,” dalih Ibu yang memanjakan Dika, sang anak bungsu kesayangan. 

 

               “Pemuda seperti Dika harus dilatih fisiknya agar kuat, Bu. Tak boleh dimanjakan terus-menerus. Nanti otot-ototnya lembek,” ujar Mang Alip bersikeras. “Nanti saya juga akan mencarikan jodoh gadis yang cantik, solehah, dan baik hati untuk Dika.”

Lihat selengkapnya