Sumber gambar: pixabay.com.
Setiap orang mencintai suatu konspiransi.
-Dan Brown, The Da Vinci Code (Robert Langdon, #2).
_____________________________________
Aku ditembak cinta oleh penolongku setelah lolos dari maut akibat gangguan mistis? Permainan nasib apa ini? Sejak menolongku, hampir setiap pagi Alam datang dengan dalih membeli sempol ayam atau nasi uduk pada Dika. Setelah membeli makanan tersebut, ia pasti celingukan untuk mencari wajahku. Dika yang sangat peka, langsung memanfaatkannya dengan mendorong Alam yang malang untuk membeli lebih banyak barang jualannya. Selanjutnya, Dika akan memberitahuku adanya Alam.
“Kak Ima, pangeran manusiamu sudah datang,” ujar Dika sembari tertawa menyebalkan seperti biasanya. Mata kanannya berkedip dengan jenaka.
Mataku menyipit dengan pandangan sedingin Kutub Utara yang ditanggapi dengan ekspresi tak bersalah ala Dika Darayan. “Kau pasti memaksanya untuk membeli lebih banyak barang jualan. Jangan menjualku demi keuntungan!”
“Kak Alam sendiri yang ingin membeli lebih banyak. Masa aku menolak rezeki,” ujar Dika. Ia pun mengalihkan topik pembicaraan dengan lihay. “Kak, cepatlah! Ia ingin mengajakmu pergi. Berdandanlah secantik mungkin!”
Aku mengerutkan kening. “Malas ah! Aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Katakan saja padanya aku diare.”
“Ayolah, Kak! Masa aku harus berbohong pada Kak Alam. Aku sudah berjanji untuk membujuk Kakak.”
“Itu kan urusanmu, bukan urusanku,” sahutku jutek.
Ibu yang sedari tadi ikut menguping di balik pintu ruang tidurku, menyela, “Ima, pekerjaanmu kan sudah selesai tadi malam. Tak baik berbohong.”
“Ibu ikut-ikutan saja. Aku …” Baru saja aku hendak mendebat, Ibu menginterupsi dengan tegas. “Ibu tak ingin mendengar 1.000 alasanmu. Ibu tahu kau ingin menghindar. Tapi tak adil bagi Alam jika kau langsung menutup pintu hati. Berilah ia kesempatan! Selanjutnya, terserah padamu apa kau tertarik atau tidak untuk berhubungan serius dengannya.”
Aku merengut. “Ibu tak tahu alasanku menolaknya. Lebih baik tak memberi harapan semu pada Alam agar hatinya tak terlampau sakit.”
“Lalu, apakah strategimu berhasil?” Tanya Ibu sembari tertawa kecil.
“Gatot alias gagal total akibat adik usil yang satu ini,” tuduhku sembari menunjuk hidung mancung Dika yang berpura-pura tenang.
“Ish, apa sih, Kak? Aku tak berbuat apa pun. Kak Alam yang cinta mati pada Kakak, mengapa aku yang disalahkan?”
Aku mendelikkan mata pada Dika. “Jangan berpura-pura tak bersalah! Kau bersekutu dengan Alam untuk mengintai segala gerak-gerikku. Kau memberinya harapan palsu. Aku tak mau ikut bertanggungjawab atas perbuatan konyolmu.” Kemudian, aku menoleh pada Ibu, “Dika ini menjual informasi mengenaiku dengan harapan Alam membeli barang jualannya.”