Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai

Sisca Wiryawan
Chapter #21

Bab 20 Si Licik Alam


Sumber gambar: pixabay.com.


Betapa ajaibnya pertemuan kita.

Bersinar di sana dan bernyanyi,

Aku tidak ingin kembali

Dari sana ke mana pun.

Kebahagiaan daripada tugas

Kesenangan diiringi kepahitan bagiku.

Tidak wajib berbicara dengan siapa pun,

Aku berbicara lama sekali.

Biarkan nafsu membungkam para pecinta,

Menuntut jawaban,

Kami, sayangku, hanyalah jiwa

Di batas dunia.

-Anna Akhmatova, the Complete Poems of Anna Akhmatova.

 

_______________________________________

 

               Mengikuti dorongan hatiku, aku menggenggam kedua tangan Alam dengan penuh simpati. Alam selalu membangun dinding setebal Tembok Raksasa RRC. Tapi hari ini ia tampak rapuh dan manusiawi. Aku turut berduka akan tragedi yang menimpa Fira, kakak perempuannya.

 

               Alam balas menggenggam tanganku. Ia menarikku perlahan ke dalam pelukannya. Kemudian, menatapku dengan sorot mata ganjil. Aku tak bisa menebak perasaan apa yang berkecamuk dalam bola mata hitam yang tenang itu. 

 

               “Ima, kau berutang padaku,” ujar Alam dengan nada serius. “Kau belum menjawab pertanyaanku apakah kau mau menjadi kekasihku?”

 

               “Tak bisakah kita menikmati saja moment ini? Kita kan tidak terburu-buru untuk memproklamirkan hubungan,” kilahku. Terus terang aku masih bingung menjawab pertanyaan Alam walaupun sudah berhari-hari ia menunggu kepastian. 

 

Alam mendengus. “Aku tak mengerti. Mengapa sulit sekali untukmu menjawab? Padahal kau bukan anak remaja lagi. Apa kau memiliki calon lain?”

 

“Aku jahat, ya? Maaf membuatmu harus menunggu dalam ketidakpastian. Tapi, aku memang masih resah dengan hatiku. Aku tak siap untuk menjalin hubungan serius dan menanggung segala konsekuensinya.”

 

“Konsekuensi apa?” Tanya Alam dengan bingung. 

 

“Aku tak siap dengan segala intrik saat berpacaran.”

 

“Kau berpikir terlampau jauh. Biarkan waktu yang berbicara. Yang terpenting ialah perasaan kita berdua. Untuk apa kau mengkhawatirkan hal lainnya yang belum tentu terjadi?”

 

Aku bergeming. Jangankan Alam, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Apa yang kuharapkan dari seorang pria? Apa yang kuinginkan dari hubungan cinta? Aku merasa kamus cinta begitu asing. Aku terlampau terbiasa mengubur perasaan cinta sebelum berkembang terlampau jauh. Bapak meruntuhkan optimismeku untuk meraih cinta. Entah sejak kapan, aku merasa takut untuk mendapat jodoh yang otoriter seperti Bapak. Aku ngeri jika harus terjebak dalam racun cinta.

 

“Aku akan menjawab perasaanmu sekarang. Tak baik aku terus menunda hal ini,” ujarku perlahan. Sudah kuputuskan untuk mundur saja. Aku merasa lebih nyaman dalam tempurungku.

 

Melihat gelagat penolakan, Alam merasa tak tahan. “Tak perlu kau jawab sekarang. Aku tak sanggup mendengar penolakan saat ini. Seperti yang tadi kau katakan, lebih baik kita menikmati saja moment ini.”

 

Alam menarik tangan kananku. “Kemarilah! Kau akan menyukainya.”

 

Kami menyusuri jalan setapak yang menjauh dari keramaian. Tak ada satu pun warga desa yang berpapasan dengan kami. Napasku sedikit terengah ketika jalan setapak tersebut menanjak. Dan terus menanjak hingga kami menemui hamparan ladang berbunga kuning cerah.

 

Tonggak-tonggak bambu berjajar serapi barisan prajurit. Sulur-sulur daun membelit tonggak-tonggak tersebut dengan cantik. Sejauh mata memandang, hanya gumpalan hijau dan kuning saling membaur. Sungguh mempesona! 

 

“Tanaman apa ini?”

Lihat selengkapnya